Canvas & You.

“Lo ngapain Marv?”

Pertanyaan Genta tidak Marvel tanggapi, dirinya sibuk mempersiapkan beberapa peralatan.

“Oh lo mau ngelukis ya?” Marvel mengangguk “buat project senin budaya lo?” lagi-lagi ia mengangguki pertanyaan Genta

“Gue boleh ikutan gak?” Marvel menatap Genta dengan bingung “ikutan gimana?” Genta duduk di kursi depannya “ikutan ngelukis lah”

“Emang lo bisa?” Marvel tampak tidak percaya dengan kemampuan Genta “dih jangan salah gue jago masalah ngelukis mah” jawab Genta “oh gue kira lo jagonya cuma ribut” sindir nya, Genta terkekeh “di sindir terus kayanya gue” sahut Genta.

“Ini canvas nya gue pake ya?” setelah mendapat kan anggukan dari nya, tangan Genta mulai mempersiapkan segalanya.

“Emang project lo disuruh bikin apa si?” tanya Genta “ekspresi diri” jawabnya “maksudnya gimana tuh?” Genta tampak tidak paham “kita di suruh mengekspresikan keadaan emosional kita saat ini ke canvas” jelas Marvel.

“Oalah, berarti they will have deep meaning dong” Marvel mengangguk setuju “kayanya si.”

“Lo sendiri emang mau bikin apa?” Marvel beberapa kali melihat goresan kuas di canvas Genta “gak tau si belum kepikiran” jawab Genta “ikutin kata hati aja gue mah”

“Udah kaya pelukis handal aja lo Gen”

Genta terkekeh kemudian keduanya mulai sibuk dengan canvas masing-masing, mereka berdua memilih diam untuk bisa fokus kepada lukisan mereka sendiri.

“Marvel”

Ia menoleh kearah Genta “muter musik boleh?” Marvel mengangguk “puter aja elah, lo ngantuk ya?” tebak nya “iyaa hahaha.”

Tidak lama dari itu suara alunan musik bergema di udara, lagu kesukaan mereka satu-persatu mulai diputar dan jujur itu membuat keduanya menjadi lebih nyaman dan enjoy untuk melukis.

Sampai tidak teras dua jam sudah mereka berkutik dengan cat air dan canvas putih tersebut.

“Finally!” seru Genta “selesai juga” ungkap pemuda itu sembari melakukan peregangan.

“Lo udah Gen?” Genta mengangguk “lukisan lo udah jadi Marv?” tanya Genta.

“Udah si tapi..” suaranya tidak sekencang tadi “tapi kenapa?” Genta tampak penasaran “kayanya gak bagus deh ini” ungkapnya.

Genta bangkit berdiri kemudian menghampiri nya, pemuda itu juga melihat hasil lukisan nya.

“Apansi Marv ini bagus kok!” Genta berusaha meyakinkan dirinya “enggak ah Gen, ini aneh gitu warnanya” bantah Marvel “warnanya bagus Marvel” Genta menarik satu kursi dibelakangnya.

“Coba jelasin ke gue apa aja makna dari semua elemen di lukisan lo” tatapan keduanya bertemu “dari sini deh” Genta menunjuk satu titik di bawah mata.

“Itu air mata tapi gue kasih warna hitam” jelas Marvel “kenapa hitam?” tanya Genta “karena air mata itu terlalu dalam dan alasan nya juga terlalu kuat menguasai pribadi kita”

Genta mengangguk paham “terus kalau ini?” tanya Genta “gue bikin dua warna yaitu kuning sama biru”

“Itu meng ibaratkan keadaan hati gue, kadang kalau lagi sama orang banyak gue bakal berwarna kuning tapi kalau sendiri gue bakal berubah abu-abu.”

“Dan phase abu-abu itu selalu berusaha gue tutupi”

Keheningan menyelimuti keduanya selama beberapa saat,

“Ini” Marvel menunjuk lukisannya “garis ini” tangannya mengikuti aliran garis,

“Mungkin beberapa orang mikir ini cuma garis coretan gak jelas tapi garis merah ini sebenarnya ada artinya sendiri”

“Lo liat garis ini gimana?” ia menatap ke arah Genta “ruwet” jawab pemuda itu “itu isi kepala gue saat ini.”

Jarum jam di sudut ruangan menjadi peneman sepi mereka berdua.

“Marvie”

“Genta pliss don’t ca—

“You can hug me if you want” pemuda itu memotong ucapannya, Marvel terdiam “give me hug Marvel.”

Genta merentangkan kedua tangannya dengan senyuman yang tidak luntur,

Secara perlahan Marvel bergerak mendekati pemuda itu dan pada akhirnya ia jatuh dalam pelukan Genta.

Untuk kedua kalinya.

Sometimes emang mulut gak bisa berjalan sesuai fungsinya tapi pelukan bisa Marv” punggungnya di belain secara perlahan “you shouldn't be tell bout your feeling atau semua yang ada di kepala lo, you just need hug and crying”

“But I don’t wanna cry”

“Why?” bisik pemuda itu di telinga nya “gue cape buat jadi lemah” balas Marvel

“My papa said: boy never crying in front of people, if he did. He looser”

Genta menggeleng “you don’t cry in front of people, disini cuma ada gue”

“I’m only person” tambahnya “lo bisa nangis di depan gue and only front of me

“Crying Marvie after that I promise you’ll be happy”

Entah sejak kapan air mata itu mulai keluar, perkataan Genta seperti perintah yang tidak bisa ia langgar.

Dan sekali lagi Marvel menangis di hadapan Genta, hanya di hadapan pemuda itu.

“I promise because I will give you that.”