You're Gonna Life Forever In Me
“Marlo Sagara!”
Suara bentakan tersebut berhasil membangunkan seorang pemuda dari alam bawah sadarnya, saat mengangkat wajahnya keatas, ternyata sudah ada satu sosok wanita di hadapan nya.
“Eh Bu Siska..” pemuda itu tersenyum dengan polosnya “enak tidur nya Marlo?” dengan polosnya Marlo mengangguk “ketiduran bu hehe, hawanya pas buat tidur soalnya” Bu Siska hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar nya “sekarang kamu keluar dari kelas, berdiri di depan tiang bendera sampai bel istirahat kedua tiba” Marlo tampak tidak senang saat mendengar kata-kata gurunya itu.
“Yah bu, maaf atuh mata saya nih, tadi ketutup sendiri sumpah, saya gada niat tidur bu”
“Saya gak peduli, sekarang kamu keluar dari kelas atau nilai ulangan kamu yang kemarin saya kosongkan”
Marlo hanya bisa menghembuskan nafas nya dengan kasar sembari berlalu keluar dari kelas.
Dari pinggir lapangan Marlo melihat satu sosok lainnya yang sudah berdiri di depan tiang lebih dahulu, ia menghampiri sosok tersebut dan berdiri tepat di sebelah pemuda itu.
“Lo kena hukum juga?” Marlo menoleh kesamping “lo ngomong sama gua?” pemuda itu terkekeh mendengar penuturan Marlo “emang ada orang lain selain lo disini?” Marlo menggeleng. “Gua kena hukum sama Bu Siska”
“Sama berarti” jawab pemuda tersebut dengan begitu santainya “lo kenapa bisa kena hukum” tanya Marlo “gak ngerjain tugas” ia mengangguk paham.
Bu Siska, guru matematika mereka memang tidak segan-segan menghukum muridnya yang tidak mengerjakan tugas.
“Kalau lo?”
“Ketiduran gua” pemuda berkulit sawo matang itu terkekeh mendengar penuturan Marlo “kebiasaan” ungkap pemuda itu.
Dahi Marlo berkerut “lo tau gua sering ketiduran di kelas?” pemuda itu masih diam
“Nathan”
Akhirnya Marlo dapat menyebutkan nama pemuda di sebelahnya tersebut.
“lo mau ikut ke kantin gak? Gua haus nih” pertanyaan Nathan tidak dijawab oleh Marlo “ya udah kalau lo gak mau, gua duluan” Nathan berbalik begitu saja, berjalan menjauhi tiang tinggi menjulang yang biasa di sebut tiang bendera
“Nathan, tunggu gua ikut!”
Nathan berlari menghampiri Nathan yang masih asik berjalan tanpa menghiraukan perkataan Marlo
Kedua pemuda dengan tinggi di atas anak sebayanya itu akhirnya sampai di kantin, keadaan tempat makan tersebut sepi. Mungkin karena ini belum jam istirahat
“Lo ngapain disitu?” Marlo mengangkat wajahnya “mau makan lah” Jawab Marlo dari tempat duduk di tengah kantin “ketauan guru nanti” Ujar Nathan “terus makan dimana?”
“Ikut gua”
Marlo akhirnya bangkit berdiri, berjalan mengikuti Nathan menuju tempat yang ia tidak ketahui.
Setelah menghabiskan waktu kurang dari lima menit kedua pemuda itu akhirnya sampai di rooftop sekolah.
“Gila angin disini enak banget” pujian Marlo tidak mendapatkan balasan apapun.
Nathan memilih duduk di sofa usang yang berada di sebelah tumpukan meja kayu yang tidak terpakai.
Mereka menyantap makanan dalam diam. Sampai Marlo mulai gerah sendiri dengan kondisi hening seperti ini
“Lo sering kesini Tan?”
Pemuda itu mengangguk “lumayan, kalau gua lagi butuh waktu sendiri atau tempat buat tidur siang gua bakal datang kesini”
“Nih rooftop emang nenangin banget si, angin nya bikin kita pengen tidur” Nathan terkekeh “lo boleh tidur disini kalau lo mau” mata Marlo tampak membulat, pemuda itu terkejut “beneran?” Nathan mengangguk
Siapa disangka ternyata persetujuan dari Nathan malah menciptakan banyak momentum baru diantara keduanya.
“Udah gua duga lo disini”
Nathan menoleh kearah belakang, terdapat sosok yang sudah tidak asing di dalam kehidupan nya saat ini.
Marlo, pemuda itu berjalan mendekati Nathan.
Duduk tanpa permisi di bagian kosong yang berada di sebelahnya. “Kenapa?” Tanya Nathan “nih buat lo” Marlo memberikan satu bungkus nasi kuning kepada Nathan
“Dalam rangka apa?” Nathan tampak kebingungan, Marlo menggeleng “nothing special, gua cuma gak liat lo aja tadi di kelas, di kantin juga. Jadi gua tebak pasti lo belum makan”
Nathan mengangguk “lo ternyata perhatian juga” ujar Nathan “iyalah, gua gitu loh” Nathan tertawa, tangannya bergerak begitu saja untuk mengusak surai Marlo
“Thanks Mar” ucap Nathan dengan tulus.
Marlo terdiam selama beberapa saat, hingga membuat Nathan kebingungan “Marlo” Ditepuk nya bahu kawannya, agar pemuda itu sadar “ehh iya, kenapa?” Nathan mendengus
“Bukan apa-apa, makan sini sama gua”
Marlo mengangguk kemudian keduanya mulai menyantap makan siang itu secara bersamaan.
“Gila! Seru juga main kejar-kejaran sama Pak Teddy” Nathan terkekeh, pemuda itu mengatur nafasnya sembari berjalan menuju sofa di tengah rooftop.
“Lo gila anjing Tan, untung aja kaga ketangkep”
Nathan duduk di sebelah Marlo, pemuda itu hanya tertawa.
“Tapi lo selamat kan sekarang?” Marlo dengan ogah-ogahan akhirnya mengangguk juga “kapan-kapan mau ke warung Teh Elisa lagi?”
“Mau lah, tapi pake cara yang bener aja, gua capek lari-larian” nafas Marlo tidak beraturan,
Pemuda itu tanpa sadar juga sudah menyenderkan kepalanya di bahu Nathan.
“Iyaa siap bosku”
Setelahnya hanya ada keheningan diantara mereka. Kedua pemuda itu menikmati udara sejuk siang hari ini
Mata Nathan tertuju pada kedua kaki nya, yang ternyata bersebelahan dengan milik Marlo.
Kaki Nathan tiba-tiba menyenggol milik Marlo, tidak mau tinggal diam, Marlo pun membalas gerakan Nathan.
Mereka saling menyenggol kaki satu sama lain,
Tidak ada yang mau mengalah, keduanya juga tampak baik-baik saja.
Tidak ada yang kesakitan.
“Aduh!”
“Ehh, sorry sorry” Nathan memberhentikan gerakannya.
Pemuda itu terlihat begitu panik, hingga Nathan langsung turun kebawah, ia dengan cepat membuka sepatu Marlo dan mengusap lembut kaki pemuda itu.
“Sakit gak?” Marlo Menggeleng “gapapa Tan” Jawab Marlo “gua lebay ya?” Marlo terkekeh “iya lumayan lah” Nathan kembali ke tempat duduknya.
Persahabatan mereka semakin dekat dilihat dari seberapa intensif nya percakapan antara Nathan dan Marlo.
Ditambah keduanya memiliki hobi yang sama.
“Nathan!” teriakan Marlo tidak membuahkan hasil apapun “Woy Nathan Nawaseno!”
Akhirnya sang pemilik nama menoleh kearah Marlo, pemuda itu menghampiri Marlo dengan pandangan penuh tanya “kenapa?” tanya pemuda itu “ini beneran gapapa gua masuk ekskul futsal?” Marlo melirik lapangan di belakang Nathan.
“Gapapa Mar, futsal nerima anggota terus kok” pemuda itu berusaha menenangkan Marlo “lagian kan ada gua juga, gada yang berani pasti nge bantah gua” Marlo berdecih “songong lo monyet” Nathan tertawa.
“Fakta bro,” Jawab Nathan “kuy lah masuk” Nathan merangkul bahu Marlo dengan begitu mudahnya, entah sepertinya pemuda itu tidak memikirkan hati seseorang lainnya.
Perkataan Nathan ternyata sepenuhnya benar, para anggota futsal sangat terbuka dengan kehadiran Marlo, mereka membaur dengan cepat, bekerjasama sebagai tim di lapangan dengan baik, membuat sesi latihan mereka sore itu terasa sangat asik bagi Marlo.
“Marlo..”
Nathan menepuk pundak Marlo, ia memperhatikan bagaimana Marlo meneguk rakus air putih dari botol kemasan, “main lo boleh juga Mar” Marlo tersenyum “baru tau ya lo kalau gua jago?” Nathan tertawa saat melihat wajah sombong yang Marlo keluarkan.
Tiba-tiba saja Nathan mengambil botol minuman tersebut dari tangan Marlo, meneguk habis air putih yang tersisa dari botol kemasan tersebut. “Aahh habis hehe” Marlo mendengus “tai di habisin” Nathan hanya cengengesan saat melihat wajah kesal dari Marlo “hahaha, sorry sorry” ungkap Genta.
“Habis latihan lo ada urusan lain gak?” Marlo menggeleng “mau ke angkringan gak? sekalian gua ganti minuman lo” ajakan Nathan begitu menggiurkan dan hati kecil Marlo tidak ingin menolak.
“Ayok aja,” Nathan tersenyum sangat cerah saat mendengar ucapan Marlo “tapi lo kaga malming an sama cewek lo Tan?”
Nathan menggeleng “kenapa?” tanya Marlo “gua gak punya cewek” jawaban Nathan tanpa sadar membuat Marlo merasa lega, “cari atuh, lo ganteng gitu pasti banyak yang mau”
“Ngapain gua cari, kalau udah ada di depan mata”
Kedua alis Marlo menyatu “maksudnya?” Nathan masih diam dengan pandangan yang tidak lepas dari Marlo.
“Jawab anjing malah senyum-senyum sendiri” Marlo kesal karena Nathan tidak juga berbicara “lupain aja.”
“Tai lo mah” Nathan terkekeh “bukan apa-apa Marlo Sagara yang ganteng nya di luar nalar” entah kenapa Marlo suka ketika nama lengkap nya disebut oleh Nathan.
“Makasih udah bilang gua ganteng”
“Najis, nyesel gua” tawa Marlo begitu renyah di dalam pendengar nya. Nathan tiba-tiba bangkit dari duduknya “ayok, keburu makin malem” Marlo juga ikut bangkit dari duduknya, “tas gua” pinta Marlo
“Biarin gua yang bawa.”
Hari-hari berlanjut seperti biasanya, Marlo dan Nathan sedang berjalan menuju kantin karena memang sudah waktunya untuk istirahat.
“Marlo” panggilan dari seorang perempuan berhasil menganggu pembicaraan keduanya “Naomi” perempuan itu tersenyum “boleh ngobrol sebentar gak?” Nathan yang paham dengan lirikan Naomi pun memilih pamit “gua duluan Mar” Marlo mengangguk “nanti gua susul” ujar Marlo, setelahnya Nathan pergi.
Tetapi pemuda itu tidak benar-benar pergi, Nathan memperhatikan percakapan keduanya dari ujung lorong. Niatnya hanya ingin menunggu Marlo tetapi berujung hatinya yang panas.
Nathan mendengus “kenapa jadi panas gini dah” lirihnya, ia alihkan tatapan nya dari Marlo yang sedang asik berbicara dengan Naomi kearah lain.
Ia memilih berlalu pergi dari tempat tersebut meninggalkan Marlo yang asik dengan Naomi.
Sampai akhirnya Nathan paham, perasaan nyamannya kian lama berubah menjadi rasa takut dan khawatir,
Nathan takut kehilangan Marlo.
Nathan selalu khawatir akan ada yang membuat Marlo sakit, terluka atau apapun usaha yang membuat Nathan menjauh dari Marlo
Nathan ingin menjaga dan melindungi Marlo,
Rasa egois nya melambung tinggi.
Egois memang ia ingin memiliki Marlo seutuhnya walaupun dirinya dan pemuda itu tidak memiliki garis ikatan yang kuat.
“Kata Sania lo belum ngumpulin tugas sejarah Tan” Suara Marlo yang tiba-tiba masuk kedalam pendengar nya, berhasil mengembalikan kesadaran Nathan.
Pemuda itu mengangkat wajahnya kepermukaan. “Emang di kumpulin kapan?” Marlo mendengus “sekarang goblok”
“Lo udah?” Marlo mengangguk “udah lah, gua kan rajin, emangnya lo” ledek Marlo “kumpulin nya nanti aja ya” ujar Nathan “bareng gua” lanjut pemuda itu “tapi kata Sania hari ini terakhir”
“Ya udah ayo kerjain di rumah gua” ajak Nathan “maksimal nya di kumpulin jam satu Tan” timpal Marlo “santai aja sih Mar masih jam sebelas” bantah Nathan “emang keburu?” Nathan mengangguk “keburu, percaya sama gua”
Genta bergerak cepat membereskan barang-barang nya, ia bangkit dari kursinya dan menarik begitu saja tangan Marlo.
“Ayok Mar”
“Sabar cuy, tas gua belum di ambil”
Nathan berhenti, kemudian pemuda itu membiarkan Marlo mengambil tasnya.
Setelah Marlo kembali ke hadapan nya, Nathan dengan cepat kembali menggenggam tangan putih Marlo.
Berjalan meninggalkan kelas yang terlihat sepi siang itu.
Membicarakan tentang kelas mungkin yang ada di ingatan Marlo adalah hari dimana Nathan jatuh sakit.
Hari dimana tiba-tiba saja Marlo merasakan perasaan cemas kembali kepada seseorang,
Marlo kembali peduli kepada orang lain.
Hal itu membuat Marlo terasa lebih berisik daripada biasanya.
Semua dimulai karena ucapan Jordan, teman sekelasnya yang berbicara kepada guru sosiologi mereka.
“Bu sih Nathan sakit” Jordan berbicara dengan lantang, Marlo yang duduk di depan tentu saja terkejut dengan penuturan Jordan “sakit apa?” tanya guru sosiologi mereka “pusing sama mual juga bu”
“Nathan, kamu mau ke Uks aja?” Nathan menggeleng “dikelas aja boleh bu?” guru perempuan itu mengangguk “boleh, kalau gak kuat langsung ke Uks aja ya” Nathan mengangguk “yasudah kamu istirahat dulu saja, tidak usah mengikuti pelajaran terlebih dahulu”
Semua kembali fokus kearah papan tulis, memperhatikan bagaimana guru sosiologi mereka yang terlihat begitu semangat dalam menjelaskan materi.
Mungkin hanya Marlo yang merasa tidak fokus, pemuda itu sedari tadi melakukan berbagai usaha untuk sekedar membalikan badannya. Sepanjang waktu pelajaran, hingga waktu istirahat tiba, dan guru keluar dari kelasnya
Marlo langsung berlari menuju tempat Nathan, pemuda itu terlelap dalam balutan hoodie hitam yang mereka beli bersama. Marlo memilih duduk di kursi kosong sebelah Nathan
Dengan sabar pemuda itu menunggu Nathan bangun.
“Lo gak istirahat?”
Marlo yang sedang bermain ponsel terkejut akan suara berat khas bangun tidur milik Nathan,
Marlo menggeleng “kenapa?” tanya Nathan “gua penasaran sama lo”
“Penasaran gimana?” tanya Nathan “perasaan tadi pagi lo masih seger, kok sekarang bisa sakit”
Nathan mengangkat kedua bahunya “gua juga gak tau tiba-tiba aja kepala gua pusing” jelas Nathan
“Sekarang apa yang lo rasain?”
“Pusing sama mual dikit” jawab Nathan dengan jujur “mau minum obat gak? atau makan dulu gitu biar lo ada tenaga Tan” Nathan menggeleng “gak nafsu Mar, gua eneg” Marlo mendengus “ya kalau gak di paksa gimana mau sembuh Nathan”
“Makan dulu ya?” bujuk Marlo “gua beliin deh, lo tunggu sini aja” Marlo bergerak bangkit dari duduknya, tetapi dengan cepat tangan nya di cekal oleh Nathan
“Gak usah Marlo, gua cuma mau tidur aja” Marlo kembali duduk “jangan batu kenapa si Tan”
“Lo tuh kalau pusing harusnya minum obat dulu, biar enakan habis itu pasti eneg nya juga ilang. Kunci nya tuh makan”
“Marlo”
“Lo bukan superhero kuat yang gak butuh obat, even mereka aja masih bisa sakit, masih harus berobat. lo tuh gak boleh bebal kalau di bilangin, biar cepet sembuh juga”
“Marlo Sagara” Dengan lembut Nathan memegang tangan Marlo yang berada di bawah meja.
Ucapan Marlo terhenti.
“Gua bakal sembuh, gua cuma butuh tidur Mar” ungkap Nathan sekali lagi, berusaha meyakinkan Marlo
“Tapi Tan—
“Ssuutt! Gua tau niat lo baik, makasih udah khawatir in gua ya Mar tapi” ibu jari Nathan bergerak mengusap punggung tangan Marlo “sekarang yang gua butuh cuma tidur”
“Boleh gak gua tidur?” Marlo menghela nafas “boleh Tan” Nathan tersenyum “gua tidur dulu ya, nanti bangunin kalau udah jam pulang”
“Lo gak mau pulang sekarang aja?” Nathan menggeleng “gua mau pulang bareng lo aja nanti.”
Semenjak hari itu akhirnya Marlo sadar, perasaan khawatir dirinya terhadap Nathan berbeda, ia menyadari bahwa dirinya tidak, pernah se perhatian ini dengan teman sebayanya yang lain.
Dan ia harusnya juga paham kalau teman temannya tidak pernah menggenggam tangannya, atau menghampiri rumahnya di jam sebelas malam hanya untuk memberikan makanan untuknya.
Pada akhirnya keduanya paham, rasa ini berbeda dan perasaan salah ini membutakan mereka, keduanya mencoba acuh dengan kata benar maupun salah.
Nathan dan Marlo hanya terus menciptakan berbagai momentum indah secara bersama sama, tanpa menghiraukan status, ataupun nama ikatan mereka saat ini.
Mereka bahkan kembali melakukan berbagai kegiatan bersama, Nathan dan Marlo sedang menggemari otomotif.
Entah sejak kapan kedua pemuda itu ikut turun dalam dunia balap tak resmi yang menggunakan jalanan umum dan uang taruhan sebagai hadiah.
“Tan, turun lo malem ini?”
Nathan dan Marlo sedang berjalan bersama menuju parkiran sekolah. “gua pengen turun tapi motor gua ada yang gak bener” ujar Nathan
“Kalau lo sendiri gimana?” Nathan menatap orang di sebelahnya “enggak turun gua” balas Marlo “lah kenapa lo?” jelas Nathan cukup terkejut akan hal ini.
“Gapapa gua gak pengen aja,” Nathan mengangguk mengerti dengan perkataan Marlo “ehh lo kenapa gak pake motor gua aja Tan”
“Maksud lo gimana?”
“Lo turun pake motor gua aja, baru kelar servis kemarin” ujar Marlo “serius gapapa?” Marlo mengangguk “gapapa elah”
“Boleh juga ide lo, kalau gitu see you nanti malem”
“See you Nathan”
Waktu yang di tunggu-tunggu akhirnya tiba, tepat pukul sepuluh malam Marvel sampai di arena.
Tempat ini terlihat begitu ramai orang berlalu lalang.
“Yow! Mar” Gabriel, nama pemuda yang menyapa dirinya “yow! Gabs, lo liat Nathan gak?” tanya Marlo “Nathan?” Marlo mengangguk “gua liat tadi dia sama Jordan di sana” ujar Gabriel sembari menunjuk satu titik di depan sana
“Oke deh makasih Gab, gua mau samperin Nathan dulu” setelah pamit dengan Gabriel,
Marlo berjalan mendekati Genta, dari jarak yang tidak terlalu jauh Marlo sudah bisa melihat tatapan tajam dan rahang yang mengeras, menandakan bahwa Nathan malam ini tidak sedang bermain-main
Langkah kaki nya semakin berani untuk menghampiri titik dimana Nathan berdiri.
“Nathan” pemuda itu menoleh kearah nya “Marlo, gua tungguin dari tadi juga lo” wajah Nathan tampak tidak se keruh beberapa waktu lalu “maaf tadi gua harus urus sesuatu dulu” Nathan menepuk pundaknya “santai Mar” ujar pemuda itu.
“Lo udah mau main ya?” Nathan mengangguk “bentar lagi kayanya” ucap Nathan “ya udah nih, motor gua ada di deket arena” Marlo menyerahkan kunci motornya kepada Nathan.
Hal itu membuat pengendali kendaraan roda dua itu sudah berbeda.
“Oli nya baru gua ganti, jadi pasti enak pas di tarik” Marlo begitu yakin dengan apa yang ia ucapkan “lo pasti menang deh” Nathan tertawa “pastilah, kapan gua gak menang”
Obrolan mereka tidak bisa terlalu banyak karena panggilan suara yang menyuruh Nathan untuk segera masuk kedalam area balap.
“Nathan!” panggil Marlo
“Kenapa?” Marlo berlari menghampiri Nathan, tiba-tiba saja pemuda itu berani untuk memeluk Nathan “semangat, lo pasti menang” Nathan mengangguk dengan mantap “pasti Mar, seperti biasa kan?” sekarang gantian Marlo yang mengangguk
Pelukan mereka terlepas, “tumben lo meluk gua” celetuk Nathan, Marlo hanya bisa mengangkat kedua bahunya keatas “gak tau, gua pengen aja” Nathan terkekeh, kemudian jari-jari pemuda itu mengusak surai ikal milik Marlo.
“Gua tanding ya”
Marlo mengangguk, membiarkan Nathan untuk turun malam ini.
“Malam Marlo Sagara,”
“Malam Nathan Nawaseno”
Wangi ruangan ini sudah menjadi teman hidup nya selama dua tahun kebelakang. Interior ruangan ini juga tidak berubah sedari awal dirinya memasuki ruangan ini.
Bunyi derap kaki tidak mengusik dirinya, Marlo masih memiliki keberanian untuk menelisik ruangan ini lebih dalam.
Marlo bergerak menghampiri satu benda panjang yang ditaruh tepat di tengah ruangan.
Netra Marlo sedari awal sudah fokus ke titik tersebut, telinganya seakan tuli dan menghiraukan suara mesin-mesin di sekitarnya.
Setelah beberapa waktu akhirnya Marlo bisa menghembuskan nafasnya kembali.
Tangannya mengudara, hingga akhirnya berlabuh di satu tangan lainnya.
Satu tangan yang kemarin menggenggam tangan putihnya, yang ibu jarinya dengan begitu lembut mengusap punggung tangan miliknya
Cup..
Bibirnya dengan lembut mengecup tangan kecoklatan yang ada dalam genggamannya.
“Maaf gua baru bisa dateng hari ini, sebulan ini gua sibuk sama kegiatan sekolah, tapi sekarang gua lega karena segala urusan sekolah udah berhasil gua selesai in”
“Bahkan tadi siang gua habis dateng ke acara graduation angkatan, kita akhirnya lulus juga, gua gak nyangka waktu berjalan secepat itu.” wajah Marlo tertunduk
“Rasanya baru kemarin gua di jemur sama lo di bawah tiang bendera, baru kemarin padahal kita kejar-kejaran sama Pak Teddy, rasanya kaya baru kemarin gua sama lo cabut sekolah dan milih buat nongkrong. Gua merasa baru memulai semua masa-masa Sma ini tau Tan”
Marlo tersenyum “ternyata udah dua tahun ya Tan..” genggaman tangan itu menguat “udah dua tahun masa sekolah gua tanpa adanya lo”
“Udah dua tahun lo tidur” Marlo akhirnya berani untuk menatap wajah Nathan, wajah yang selalu ada di dalam mimpinya, wajah yang akan membuat nya menangis setelah bangun dari mimpi indah itu.
Menangis karena ia rindu dengan bola mata Nathan yang menatap kearah nya atau senyuman tulus yang pemuda itu berikan untuknya,
Dua tahun berlalu tetapi semua masih teringat jelas di dalam benaknya.
Bagaimana malam itu merenggut kesadaran Nathan, malam itu berhasil menjadi mimpi buruk bagi Marlo.
Bahkan malam itu hampir saja mengambil jiwa Nathan darinya.
Motor yang ia yakinkan akan membawa kemenangan untuk Nathan ternyata hanya membawa Marlo menuju neraka dunia.
Motor hitam itu malah membawa Nathan menuju kecelakaan parah yang membuat pemuda itu tidur selama dua tahun lebih.
Marlo menghembuskan nafasnya, berusaha untuk mengontrol emosinya. Karena setiap mengingat malam itu Marlo akan selalu menangis.
Marlo sedih karna hampir kehilangan Nathan, Marlo pun marah karena nyawa Nathan hampir hilang karna dirinya.
Semua terlalu berantakan untuk Marlo.
“Nathan, lo gak bosen apa tidur mulu?” Marlo selalu berharap Nathan akan membalas ucapannya, “lo emang gak pengen main futsal sama gua?”
Selama dua tahun kebelakang ini Marlo selalu berharap, Marlo percaya Nathan akan bangun.
“gua yakin kaki lo sekarang masih jago buat cetak gol, yah walaupun masih jagoan gua” Marlo tertawa lirih, “gua yakin kalo lo denger ini bakalan kesel”
“Makanya bangun, kasih bukti ke gua kalau lo lebih jago dari gua”
“Tapi lo tau gak Tan, gua di nobatkan sebagai captain futsal terbaik tahun ini”
“Jangan salahin gua karena ambil posisi lo ya Tan, habisan lo tidur nya kelamaan, jadi gua sabet aja deh”
Suara tawa Marvel menyatu dengan bunyi mesin-mesin pendeteksi detak jantung.
Marlo masih setia menatap wajah Nathan, yang tidak sama sekali memiliki perubahan selain rambut yang memanjang, rambut ikal pemuda itu semakin memanjang.
Marlo tergerak untuk memainkan surai Nathan.
“Nathan,”
Marlo menghela nafas, tiba-tiba suara nya bergetar.
“Nathan, gua kangen” kedua bola mata itu berkaca-kaca “gua kangen banget sama lo Tan”
“Gua kangen dipeluk sama lo Tan, gua kangen ngobrol sama lo, gua kangen lo Nathan sampai rasanya gua mau mati”
“Mati karena rasa bersalah, sekaligus rindu tuh gak enak in banget Tan,” tutur Marlo
“Lo tau gak si Tan kalau aja gua gak denger detak jantung lo selama dua puluh empat jam awal, malam itu juga gua bakal langsung bunuh diri gua.
“Lo boleh bilang gua gila, gue tolol. Tapi nyatanya gua se gak bisa itu tanpa lo Tan”
“Gua ga bisa hidup tanpa lo Nathan,”
“Tapi gua seneng karna lo menjadi orang baik, lo masih berdetak sampai hari ini.” Marlo menyentuh dada Genta yang di hiasi beberapa alat medis
“Ini semua bukti kalau Nathan kuat, dan jantung ini adalah alasan gua bertahan sampai hari ini walaupun lo tau Tan gimana frustasi nya satu tahun pertama gua tanpa lo. Dan gimana gua yang mau bangkit untuk hidup kembali karna denger kabar kesehatan lo yang membaik”
“Makasih ya Nathan, makasih udah pernah hadir di hidup gua,”
“Terimakasih sudah mau menjadi sahabat, pengisi hati dan rumah” air mata yang Marlo tahan selama beberapa bulan terakhir ini akhirnya mengalir keluar,
Maafkan Marlo yang sudah tidak bisa menahan nya lebih lama.
“Maaf ya Nathan, lagi-lagi baju lo basah karena air mata gua” Marlo buru-buru mengusap buliran air mata yang membasahi pipinya.
“Kalau di pikir-pikir kamu hebat banget Tan, orang-orang bilang hidup kamu gak akan bertahan lebih dari satu bulan, bahkan dokter cuma ngasih tau aku kalau kamu bertahan cuma bisa tiga bulan, tapi aku gak percaya. Karna aku tau Nathan tuh kuat, aku bangga sama kamu yang mau bertahan sampai sejauh ini Tan”
“Aku tau dua tahun kebelakang ini juga sulit banget buat kamu, aku tau Tan gimana kerasnya kamu berusaha saat ini. Kerasnya kamu berjuang buat tetap bernafas, demi aku.”
“Maaf ya Tan, maaf aku dulu egois karna gak mau kamu pergi, aku jahat ya Tan karna gak mau ngelepas tangan kamu selama dua tahun ini?”
Tangis Marlo kembali terdengar lebih kencang daripada sebelum nya.
“Tapi Tan aku sekarang sadar, aku gak bisa terus maksa kamu tinggal. Aku gak bisa terus maksa kamu untuk berjuang padahal kamu mungkin udah gak kuat”
“Aku emang gak bisa tanpa kamu Tan, tapi aku bisa belajar.
Belajar untuk ikhlas”
“Satu tahun kebelakang ini ternyata aku bukan cuma belajar untuk bangkit tapi aku juga belajar untuk mengikhlaskan kamu, Nathan.”
“Sekarang aku udah siap Tan” mulut Marlo mulai bergetar “kamu bebas Tan..”
“Nathan boleh pergi, aku bolehin sayang. Aku ikhlas”
Tubuh Nathan bergetar, Marlo melihat bagaimana Nathan mengambil nafas dengan susah payah.
Marlo mengusap lembut tangan Nathan, “pelan-pelan Nathan. Jangan lari, jalan pelan-pelan aja.” Air mata terus mengaliri pipi Marlo
Tit.. Tit.. Tit..
Layar monitor di sebelah Nathan berubah menjadi lurus, tidak ada lagi gelombang yang menjadi tanda bahwa Nathan masih berada bersama nya,
Bahkan Marlo sudah tidak merasakan adanya detak jantung Nathan di dada pemuda itu.
Tangisan Marlo pecah, Nathan sudah sering seperti ini tetapi untuk kali ini Marlo membiarkan Nathan pergi,
Marlo tidak lagi berteriak memanggil dokter maupun perawat rumah sakit, untuk kali ini Marlo hanya diam, sembari memperhatikan wajah tertidur milik Nathan.
Nathan nya sudah tertidur dengan lelap.
“Selamat tidur Nathan” bisik Marlo di samping telinga Nathan.
“You’re gonna live forever in me, Nathan Nawaseno”
Ia kecup kening Nathan untuk terakhir kalinya, dan untuk terakhir kalinya juga Marlo memberikan satu bucket bunga untuk Nathan.
Satu bucket bunga gardenia dengan kartu ucapan
‘Happy graduation, Nathan.’