sea

Saat ini River berada di tengah-tengah kelompok kecil yang sedang memainkan permainan gila, namun seru.

Permainan yang wajib di mainkan dikala mereka pergi ke tempat hiburan malam.

Botol minuman kosong di putar ditengah-tengah lingkaran tersebut, semua pasang mata menunggu kemana kepala kaca itu akan berakhir.

“Yow River!” Seru Kenzo dan tiga orang asing lainnya.

Hal wajar yang sering ditemui di tempat seperti ini adalah, bertemu teman baru, mengobrol layaknya kawan lama padahal saling mengetahui nama dengan benar pun tidak.

“Drink or dare?”

Pertanyaan itu sudah dua kali di ajukan untuk nya.

Dan sudah dua kali juga satu gelas vodka berhasil masuk ke tenggorokannya.

Dare nya apa?” Tanya River, “kiss your bestfriend!” Seru seorang perempuan berdarah blasteran “do you guys with me?” Tanya perempuan itu lagi.

“Gue setuju sama Laudya” Sahut seorang pemuda berambut ikal yang dibawa oleh Galih “nah nah, guys kita bisa kasih dare yang lain” Galih tampak tidak setuju

“Oh come on bro, just a french kiss” Sahut si lelaki berambut ikal.

“Gue setuju” Jericho tiba-tiba angkat suara, membuat semua pasang mata tertuju pada pemuda itu “Jer! Lo gila?” Hendrick yang tampak sudah mulai kehilangan kewarasan pun masih bisa membalas.

“Lah tujuan kita malem ini kan buat gila-gilaan Hen, lo lupa?”

“Gue setuju sama Jericho” Kenzo yang duduk di sebelah River pun hanya memperparah keadaan.

“So River?” Suara Laudya membuat semua pasang mata kembali tertuju pada River.

“Ayoklah Per, sekali-kali dare” Kenzo memanas manasi River “iya bro, jangan minum lah biar seru”

Penuturan pemuda berambut ikal itu hanya membuat River semakin merasa terpojok.

Ia masih diam bahkan saat teman-temannya mulai meneriaki namanya.

Pandangan nya lurus ke depan, tepat kearah Jericho. Pemuda itu memasang senyuman remeh, seperti nya Jericho sengaja memancing amarah River.

“Do it Per, be gentle”

Tutur Jericho tanpa suara.

“River! River!”

Suara bising itu membuat matanya terpejam sejenak, berpikir untuk apa langkah selanjutnya yang harus ia ambil.

Tiba-tiba saja River membuka matanya, tangan nya mengambil segelas penuh vodka dan menegak habis cairan putih tersebut.

Semua suara perlahan menghilang saat River tiba-tiba berdiri dan berjalan kearah Jericho.

Semua terjadi begitu cepat, tiba-tiba saja bibir River sudah bersentuhan dengan bibir milik Jericho.

Mengecup organ kenyal itu tanpa ada keraguan sedikit pun, mengabaikan rasa asam bekas rokok yang Jericho hisap beberapa waktu lalu.

“Wow! River, lo keren banget!”

Pujian itu membuat River kembali ke dunia nyata, tubuhnya ia tarik kebelakang.

Menghapus jejak saliva Jericho dari bibirnya, karna pemuda itu mengambil kesempatan untuk menghisap bibirnya.

River bisa melihat wajah sumringah Jericho.

Dan permainan gila itu terus berlanjut, hingga membuat semua orang di lingkaran kecil itu mulai kehilangan kesadaran.

Satu orang yang pertama kali tumbang adalah Hendrick, wajar karna pemuda itu jarang sekali meneguk alkohol.

Kedua adalah Galih, pemuda itu di cekoki minuman oleh Delon si pemuda berambut ikal.

Begitu pun dengan River, teman-teman nya tidak ada henti mengompori dirinya untuk terus minum malam ini.

“Gak, gak gue gak mau” River menolak gelas yang Delon kasih “ayok lah Ver” Rayu Delon “buat gue aja sini” Jericho mengambil gelas tersebut dan meneguk nya sampai habis.

River mendengus saat melihat satu mata Jericho mengerling kearah nya.

“Kenzo mana?” Tanya River saat tidak melihat keberadaan temannya “gue liat dia pergi sam Laudya” Jawab Jericho, “gila tuh orang nge room?” Jericho mengangkat bahunya.

River bangun dari duduknya, “mau kemana lo?” Tanya Jericho.

Floor, mau joget sekalian cari Kenzo” Jawab River sembari jalan menuju dance floor di tengah-tengah sana.

River tidak mempedulikan apakah Jericho akan ikut dengannya atau tidak.

Yang jelas River butuh menggerakkan tubuhnya sedikit, sembari mencari kewarasannya yang hilang entah kemana.

Jika boleh jujur River sedikit pusing,

Permainan gila itu ternyata berhasil membuat River sedikit hilang control, bahkan ia sudah lupa berapa gelas yang sudah ia teguk.

Tapi tenang saja River masih mampu untuk berjalan dengan lurus. Ia masih bisa menikmati dentuman musik yang diputar oleh DJ dari atas panggung.

“Hey, are you single?” Seorang perempuan muda menghampiri dirinya, River mengangguk “single for you” Jawab nya.

Wanita itu terkekeh, “temen gue tertarik sama lo” Perempuan itu menunjuk seorang wanita yang berdiri di pinggir dance floor.

River melambaikan tangan kearah perempuan itu.

“Gue boleh minta nomer lo gak?” Wanita itu bertanya sekali lagi “I forgot the numbers” Ungkap River “how bout instagram?” River mengangguk.

River kemudian membisikan sebuah kata ke telinga perempuan itu.

“Ah nakal deh lo” Perempuan itu menepuk bahu nya, dan River terkekeh.

Perempuan itu ingin kembali berbicara namun sebuah suara yang berasal dari atas panggung berhasil mencuri perhatian River.

Bukan hanya River namun seluruh orang di floor tersebut.

Sorry guys gue harus stop musik dulu, tapi ini bentar doang kok” Seru si DJ dari atas panggung.

“Gue cuma mau bilang welcome back to my bro, Ian”

“Hush really missing they star boy,” DJ itu tersenyum “so I will play one song for Ian, hope you enjoy guys!”

Dahi River berkerut bahkan saat lagu Travis Scott di mainkan kembali.

Manik River tertuju pada layar LD besar yang ada di depan nya.

Ditengah tengah LD itu tertulis.

'Welcome back to Hush, Ian'

Rasanya tempat ini begitu asing bagi River, padahal seharusnya tempat ini adalah tempat favorite para siswa di sekolah nya.

Tapi tidak dengan River.

Menurut nya Warung Mang Irul masih menjadi tempat favorite nya.

Satu-satunya hal yang River sukai dari ruangan ini adalah dinginnya suhu ruangan.

Di lain waktu River mungkin akan datang ke perpustakaan untuk sekedar tidur siang.

Perpustakaan hari ini di penuhi oleh anak kelasnya, omongan Julian seratus persen benar adanya.

Teman-teman nya ada disini, entah bagaimana caranya.

Dan Bu Rini benar-benar mencari keberadaan nya, menurut River guru muda itu terlalu khawatir tentang nilai nya.

Jadi sekarang River disini, di lorong yang berisikan berbagai macam buku yang bisa di jadikan bahan resensi.

Tapi sekali lagi River begitu malas untuk mencari buku-buku itu, River tidak pernah tertarik dengan bacaan.

Pada akhirnya River memilih duduk di tengah lorong buku yang sepi itu, River membuka buku tulisnya yang bersih itu.

Pensil ditangannya sibuk bergerak membuat sebuah garis abstrak yang bahkan River sendiri tidak tahu akhirnya akan menjadi apa.

Waktu terus berlalu, River melirik jam di tangan nya.

Ia kemudian bangkit berdiri, berjalan menuju lorong lainnya.

River hanya berkeliling secara acak, beberapa kali ia bertemu dengan Hendrick yang sedang sibuk mengerjakan tugas.

Ataupun Galih dan Kenzo yang malah sibuk membaca komik.

River biasanya akan bergabung bersama dus temannya itu, River cinta komik. Tapi untuk saat River tidak memiliki gairah untuk membaca berbagai cerita itu.

Pada akhirnya kaki jenjang River berhenti di satu koridor buku yang berisikan tentang seni dan art.

Manik tajam nya mengudara ke sekitar, memperhatikan macam-macam judul buku yang ada di rak tersebut.

Tiba-tiba mata River berbinar.

Ia melihat sebuah buku menarik yang berada di rak buku paling atas.

River bergerak untuk mengambil buku tersebut, tapi nyatanya buku itu di taruh sangat tinggi hingga River butuh usaha ekstra untuk mengambil nya.

“Siapa yang ngusul ditaro di atas sih” Dumel River sembari tetap berusaha mengambil buku tersebut.

River bahkan sudah berjinjit untuk mempersempit jarak.

“Babi tinggi banget”

River pantang menyerah ia terus berusaha untuk mengambil buku tersebut.

Namun saat River sedang fokus untuk mengambil buku tersebut, terdapat sebuah suara asing yang menginterupsi nya.

“Let me help you”

River menoleh ke belakang, ada sosok Julian di sana.

“Boleh” Jawaban River membuat Julian maju mendekat.

Mengikis jarak antara dirinya dan River, hal itu membuat River membatu karna sungguh River dapat merasakan hembusan nafas Julian saat ini.

Pandangan Julian tertuju kepadanya dan River merasa bahwa Julian mengunci matanya agar tidak beralih ke arah yang lain.

“Here is you go, shortie”

Tangan Julian turun kebawah dengan sebuah buku yang River inginkan.

“Gue gak pendek” Cicit River, sudut bibir Julian tertarik “yakin?” Julian semakin memajukan dirinya.

Pemuda itu menaruh ujung buku kearah dagu River.

Hal itu membuat buku tulis yang ada di tangan River terjatuh dan terbuka.

Namun hal tersebut tidak membuat tatapan kedua pemuda itu beralih.

“Ijul”

Julian menjawabnya dengan deheman beratnya.

Fokus mata Julian kali ini jatuh pada satu titik, sebuah objek kenyal berwarna semerah stroberi.

“River”

Panggilan itu berhasil membuat Julian dan River menoleh ke sumber suara.

River melihat sosok Jericho di ujung lorong, pemuda itu bergerak mendekat

“Gue cariin juga lo” Pemuda itu mendorong tubuh Julian ke samping membuat posisi Julian dan River berubah “eh? Kenapa Jer?” Tanya River.

“Ayok cabut, gue bosen gila” Ajak Jericho “lo gak bosen?” Jericho menatap River.

River mengedipkan matanya beberapa kali, ia masih memproses semua kejadian beberapa waktu lalu.

“Per” Jericho menepuk pundak nya “hah? Iya gue bosen, ayok lah cabut” Jericho tersenyum kemudian merangkul bahu River dan membawa nya pergi.

Meninggalkan si ketua Osis yang masih diam di tempat dengan sebuah buku tulis milik River.

“Marlo Sagara!”

Suara bentakan tersebut berhasil membangunkan seorang pemuda dari alam bawah sadarnya, saat mengangkat wajahnya keatas, ternyata sudah ada satu sosok wanita di hadapan nya.

“Eh Bu Siska..” pemuda itu tersenyum dengan polosnya “enak tidur nya Marlo?” dengan polosnya Marlo mengangguk “ketiduran bu hehe, hawanya pas buat tidur soalnya” Bu Siska hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar nya “sekarang kamu keluar dari kelas, berdiri di depan tiang bendera sampai bel istirahat kedua tiba” Marlo tampak tidak senang saat mendengar kata-kata gurunya itu.

“Yah bu, maaf atuh mata saya nih, tadi ketutup sendiri sumpah, saya gada niat tidur bu”

“Saya gak peduli, sekarang kamu keluar dari kelas atau nilai ulangan kamu yang kemarin saya kosongkan”

Marlo hanya bisa menghembuskan nafas nya dengan kasar sembari berlalu keluar dari kelas.

Dari pinggir lapangan Marlo melihat satu sosok lainnya yang sudah berdiri di depan tiang lebih dahulu, ia menghampiri sosok tersebut dan berdiri tepat di sebelah pemuda itu.

“Lo kena hukum juga?” Marlo menoleh kesamping “lo ngomong sama gua?” pemuda itu terkekeh mendengar penuturan Marlo “emang ada orang lain selain lo disini?” Marlo menggeleng. “Gua kena hukum sama Bu Siska”

“Sama berarti” jawab pemuda tersebut dengan begitu santainya “lo kenapa bisa kena hukum” tanya Marlo “gak ngerjain tugas” ia mengangguk paham.

Bu Siska, guru matematika mereka memang tidak segan-segan menghukum muridnya yang tidak mengerjakan tugas.

“Kalau lo?”

“Ketiduran gua” pemuda berkulit sawo matang itu terkekeh mendengar penuturan Marlo “kebiasaan” ungkap pemuda itu.

Dahi Marlo berkerut “lo tau gua sering ketiduran di kelas?” pemuda itu masih diam

“Nathan”

Akhirnya Marlo dapat menyebutkan nama pemuda di sebelahnya tersebut.

“lo mau ikut ke kantin gak? Gua haus nih” pertanyaan Nathan tidak dijawab oleh Marlo “ya udah kalau lo gak mau, gua duluan” Nathan berbalik begitu saja, berjalan menjauhi tiang tinggi menjulang yang biasa di sebut tiang bendera

“Nathan, tunggu gua ikut!”

Nathan berlari menghampiri Nathan yang masih asik berjalan tanpa menghiraukan perkataan Marlo

Kedua pemuda dengan tinggi di atas anak sebayanya itu akhirnya sampai di kantin, keadaan tempat makan tersebut sepi. Mungkin karena ini belum jam istirahat

“Lo ngapain disitu?” Marlo mengangkat wajahnya “mau makan lah” Jawab Marlo dari tempat duduk di tengah kantin “ketauan guru nanti” Ujar Nathan “terus makan dimana?”

“Ikut gua”

Marlo akhirnya bangkit berdiri, berjalan mengikuti Nathan menuju tempat yang ia tidak ketahui.

Setelah menghabiskan waktu kurang dari lima menit kedua pemuda itu akhirnya sampai di rooftop sekolah.

“Gila angin disini enak banget” pujian Marlo tidak mendapatkan balasan apapun.

Nathan memilih duduk di sofa usang yang berada di sebelah tumpukan meja kayu yang tidak terpakai.

Mereka menyantap makanan dalam diam. Sampai Marlo mulai gerah sendiri dengan kondisi hening seperti ini

“Lo sering kesini Tan?”

Pemuda itu mengangguk “lumayan, kalau gua lagi butuh waktu sendiri atau tempat buat tidur siang gua bakal datang kesini”

“Nih rooftop emang nenangin banget si, angin nya bikin kita pengen tidur” Nathan terkekeh “lo boleh tidur disini kalau lo mau” mata Marlo tampak membulat, pemuda itu terkejut “beneran?” Nathan mengangguk

Siapa disangka ternyata persetujuan dari Nathan malah menciptakan banyak momentum baru diantara keduanya.


“Udah gua duga lo disini”

Nathan menoleh kearah belakang, terdapat sosok yang sudah tidak asing di dalam kehidupan nya saat ini.

Marlo, pemuda itu berjalan mendekati Nathan.

Duduk tanpa permisi di bagian kosong yang berada di sebelahnya. “Kenapa?” Tanya Nathan “nih buat lo” Marlo memberikan satu bungkus nasi kuning kepada Nathan

“Dalam rangka apa?” Nathan tampak kebingungan, Marlo menggeleng “nothing special, gua cuma gak liat lo aja tadi di kelas, di kantin juga. Jadi gua tebak pasti lo belum makan”

Nathan mengangguk “lo ternyata perhatian juga” ujar Nathan “iyalah, gua gitu loh” Nathan tertawa, tangannya bergerak begitu saja untuk mengusak surai Marlo

Thanks Mar” ucap Nathan dengan tulus.

Marlo terdiam selama beberapa saat, hingga membuat Nathan kebingungan “Marlo” Ditepuk nya bahu kawannya, agar pemuda itu sadar “ehh iya, kenapa?” Nathan mendengus

“Bukan apa-apa, makan sini sama gua”

Marlo mengangguk kemudian keduanya mulai menyantap makan siang itu secara bersamaan.


“Gila! Seru juga main kejar-kejaran sama Pak Teddy” Nathan terkekeh, pemuda itu mengatur nafasnya sembari berjalan menuju sofa di tengah rooftop.

“Lo gila anjing Tan, untung aja kaga ketangkep”

Nathan duduk di sebelah Marlo, pemuda itu hanya tertawa.

“Tapi lo selamat kan sekarang?” Marlo dengan ogah-ogahan akhirnya mengangguk juga “kapan-kapan mau ke warung Teh Elisa lagi?”

“Mau lah, tapi pake cara yang bener aja, gua capek lari-larian” nafas Marlo tidak beraturan,

Pemuda itu tanpa sadar juga sudah menyenderkan kepalanya di bahu Nathan.

“Iyaa siap bosku

Setelahnya hanya ada keheningan diantara mereka. Kedua pemuda itu menikmati udara sejuk siang hari ini

Mata Nathan tertuju pada kedua kaki nya, yang ternyata bersebelahan dengan milik Marlo.

Kaki Nathan tiba-tiba menyenggol milik Marlo, tidak mau tinggal diam, Marlo pun membalas gerakan Nathan.

Mereka saling menyenggol kaki satu sama lain,

Tidak ada yang mau mengalah, keduanya juga tampak baik-baik saja.

Tidak ada yang kesakitan.

“Aduh!”

“Ehh, sorry sorry” Nathan memberhentikan gerakannya.

Pemuda itu terlihat begitu panik, hingga Nathan langsung turun kebawah, ia dengan cepat membuka sepatu Marlo dan mengusap lembut kaki pemuda itu.

“Sakit gak?” Marlo Menggeleng “gapapa Tan” Jawab Marlo “gua lebay ya?” Marlo terkekeh “iya lumayan lah” Nathan kembali ke tempat duduknya.


Persahabatan mereka semakin dekat dilihat dari seberapa intensif nya percakapan antara Nathan dan Marlo.

Ditambah keduanya memiliki hobi yang sama.

“Nathan!” teriakan Marlo tidak membuahkan hasil apapun “Woy Nathan Nawaseno!”

Akhirnya sang pemilik nama menoleh kearah Marlo, pemuda itu menghampiri Marlo dengan pandangan penuh tanya “kenapa?” tanya pemuda itu “ini beneran gapapa gua masuk ekskul futsal?” Marlo melirik lapangan di belakang Nathan.

“Gapapa Mar, futsal nerima anggota terus kok” pemuda itu berusaha menenangkan Marlo “lagian kan ada gua juga, gada yang berani pasti nge bantah gua” Marlo berdecih “songong lo monyet” Nathan tertawa.

“Fakta bro,” Jawab Nathan “kuy lah masuk” Nathan merangkul bahu Marlo dengan begitu mudahnya, entah sepertinya pemuda itu tidak memikirkan hati seseorang lainnya.

Perkataan Nathan ternyata sepenuhnya benar, para anggota futsal sangat terbuka dengan kehadiran Marlo, mereka membaur dengan cepat, bekerjasama sebagai tim di lapangan dengan baik, membuat sesi latihan mereka sore itu terasa sangat asik bagi Marlo.

“Marlo..”

Nathan menepuk pundak Marlo, ia memperhatikan bagaimana Marlo meneguk rakus air putih dari botol kemasan, “main lo boleh juga Mar” Marlo tersenyum “baru tau ya lo kalau gua jago?” Nathan tertawa saat melihat wajah sombong yang Marlo keluarkan.

Tiba-tiba saja Nathan mengambil botol minuman tersebut dari tangan Marlo, meneguk habis air putih yang tersisa dari botol kemasan tersebut. “Aahh habis hehe” Marlo mendengus “tai di habisin” Nathan hanya cengengesan saat melihat wajah kesal dari Marlo “hahaha, sorry sorry” ungkap Genta.

“Habis latihan lo ada urusan lain gak?” Marlo menggeleng “mau ke angkringan gak? sekalian gua ganti minuman lo” ajakan Nathan begitu menggiurkan dan hati kecil Marlo tidak ingin menolak.

“Ayok aja,” Nathan tersenyum sangat cerah saat mendengar ucapan Marlo “tapi lo kaga malming an sama cewek lo Tan?”

Nathan menggeleng “kenapa?” tanya Marlo “gua gak punya cewek” jawaban Nathan tanpa sadar membuat Marlo merasa lega, “cari atuh, lo ganteng gitu pasti banyak yang mau”

“Ngapain gua cari, kalau udah ada di depan mata”

Kedua alis Marlo menyatu “maksudnya?” Nathan masih diam dengan pandangan yang tidak lepas dari Marlo.

“Jawab anjing malah senyum-senyum sendiri” Marlo kesal karena Nathan tidak juga berbicara “lupain aja.”

“Tai lo mah” Nathan terkekeh “bukan apa-apa Marlo Sagara yang ganteng nya di luar nalar” entah kenapa Marlo suka ketika nama lengkap nya disebut oleh Nathan.

“Makasih udah bilang gua ganteng”

“Najis, nyesel gua” tawa Marlo begitu renyah di dalam pendengar nya. Nathan tiba-tiba bangkit dari duduknya “ayok, keburu makin malem” Marlo juga ikut bangkit dari duduknya, “tas gua” pinta Marlo

“Biarin gua yang bawa.”

Hari-hari berlanjut seperti biasanya, Marlo dan Nathan sedang berjalan menuju kantin karena memang sudah waktunya untuk istirahat.

“Marlo” panggilan dari seorang perempuan berhasil menganggu pembicaraan keduanya “Naomi” perempuan itu tersenyum “boleh ngobrol sebentar gak?” Nathan yang paham dengan lirikan Naomi pun memilih pamit “gua duluan Mar” Marlo mengangguk “nanti gua susul” ujar Marlo, setelahnya Nathan pergi.

Tetapi pemuda itu tidak benar-benar pergi, Nathan memperhatikan percakapan keduanya dari ujung lorong. Niatnya hanya ingin menunggu Marlo tetapi berujung hatinya yang panas.

Nathan mendengus “kenapa jadi panas gini dah” lirihnya, ia alihkan tatapan nya dari Marlo yang sedang asik berbicara dengan Naomi kearah lain.

Ia memilih berlalu pergi dari tempat tersebut meninggalkan Marlo yang asik dengan Naomi.

Sampai akhirnya Nathan paham, perasaan nyamannya kian lama berubah menjadi rasa takut dan khawatir,

Nathan takut kehilangan Marlo.

Nathan selalu khawatir akan ada yang membuat Marlo sakit, terluka atau apapun usaha yang membuat Nathan menjauh dari Marlo

Nathan ingin menjaga dan melindungi Marlo,

Rasa egois nya melambung tinggi.

Egois memang ia ingin memiliki Marlo seutuhnya walaupun dirinya dan pemuda itu tidak memiliki garis ikatan yang kuat.

“Kata Sania lo belum ngumpulin tugas sejarah Tan” Suara Marlo yang tiba-tiba masuk kedalam pendengar nya, berhasil mengembalikan kesadaran Nathan.

Pemuda itu mengangkat wajahnya kepermukaan. “Emang di kumpulin kapan?” Marlo mendengus “sekarang goblok”

“Lo udah?” Marlo mengangguk “udah lah, gua kan rajin, emangnya lo” ledek Marlo “kumpulin nya nanti aja ya” ujar Nathan “bareng gua” lanjut pemuda itu “tapi kata Sania hari ini terakhir”

“Ya udah ayo kerjain di rumah gua” ajak Nathan “maksimal nya di kumpulin jam satu Tan” timpal Marlo “santai aja sih Mar masih jam sebelas” bantah Nathan “emang keburu?” Nathan mengangguk “keburu, percaya sama gua”

Genta bergerak cepat membereskan barang-barang nya, ia bangkit dari kursinya dan menarik begitu saja tangan Marlo.

“Ayok Mar”

“Sabar cuy, tas gua belum di ambil”

Nathan berhenti, kemudian pemuda itu membiarkan Marlo mengambil tasnya.

Setelah Marlo kembali ke hadapan nya, Nathan dengan cepat kembali menggenggam tangan putih Marlo.

Berjalan meninggalkan kelas yang terlihat sepi siang itu.

Membicarakan tentang kelas mungkin yang ada di ingatan Marlo adalah hari dimana Nathan jatuh sakit.

Hari dimana tiba-tiba saja Marlo merasakan perasaan cemas kembali kepada seseorang,

Marlo kembali peduli kepada orang lain.

Hal itu membuat Marlo terasa lebih berisik daripada biasanya.

Semua dimulai karena ucapan Jordan, teman sekelasnya yang berbicara kepada guru sosiologi mereka.

“Bu sih Nathan sakit” Jordan berbicara dengan lantang, Marlo yang duduk di depan tentu saja terkejut dengan penuturan Jordan “sakit apa?” tanya guru sosiologi mereka “pusing sama mual juga bu”

“Nathan, kamu mau ke Uks aja?” Nathan menggeleng “dikelas aja boleh bu?” guru perempuan itu mengangguk “boleh, kalau gak kuat langsung ke Uks aja ya” Nathan mengangguk “yasudah kamu istirahat dulu saja, tidak usah mengikuti pelajaran terlebih dahulu”

Semua kembali fokus kearah papan tulis, memperhatikan bagaimana guru sosiologi mereka yang terlihat begitu semangat dalam menjelaskan materi.

Mungkin hanya Marlo yang merasa tidak fokus, pemuda itu sedari tadi melakukan berbagai usaha untuk sekedar membalikan badannya. Sepanjang waktu pelajaran, hingga waktu istirahat tiba, dan guru keluar dari kelasnya

Marlo langsung berlari menuju tempat Nathan, pemuda itu terlelap dalam balutan hoodie hitam yang mereka beli bersama. Marlo memilih duduk di kursi kosong sebelah Nathan

Dengan sabar pemuda itu menunggu Nathan bangun.

“Lo gak istirahat?”

Marlo yang sedang bermain ponsel terkejut akan suara berat khas bangun tidur milik Nathan,

Marlo menggeleng “kenapa?” tanya Nathan “gua penasaran sama lo”

“Penasaran gimana?” tanya Nathan “perasaan tadi pagi lo masih seger, kok sekarang bisa sakit”

Nathan mengangkat kedua bahunya “gua juga gak tau tiba-tiba aja kepala gua pusing” jelas Nathan

“Sekarang apa yang lo rasain?”

“Pusing sama mual dikit” jawab Nathan dengan jujur “mau minum obat gak? atau makan dulu gitu biar lo ada tenaga Tan” Nathan menggeleng “gak nafsu Mar, gua eneg” Marlo mendengus “ya kalau gak di paksa gimana mau sembuh Nathan”

“Makan dulu ya?” bujuk Marlo “gua beliin deh, lo tunggu sini aja” Marlo bergerak bangkit dari duduknya, tetapi dengan cepat tangan nya di cekal oleh Nathan

“Gak usah Marlo, gua cuma mau tidur aja” Marlo kembali duduk “jangan batu kenapa si Tan”

“Lo tuh kalau pusing harusnya minum obat dulu, biar enakan habis itu pasti eneg nya juga ilang. Kunci nya tuh makan”

“Marlo”

“Lo bukan superhero kuat yang gak butuh obat, even mereka aja masih bisa sakit, masih harus berobat. lo tuh gak boleh bebal kalau di bilangin, biar cepet sembuh juga”

“Marlo Sagara” Dengan lembut Nathan memegang tangan Marlo yang berada di bawah meja.

Ucapan Marlo terhenti.

“Gua bakal sembuh, gua cuma butuh tidur Mar” ungkap Nathan sekali lagi, berusaha meyakinkan Marlo

“Tapi Tan—

“Ssuutt! Gua tau niat lo baik, makasih udah khawatir in gua ya Mar tapi” ibu jari Nathan bergerak mengusap punggung tangan Marlo “sekarang yang gua butuh cuma tidur”

“Boleh gak gua tidur?” Marlo menghela nafas “boleh Tan” Nathan tersenyum “gua tidur dulu ya, nanti bangunin kalau udah jam pulang”

“Lo gak mau pulang sekarang aja?” Nathan menggeleng “gua mau pulang bareng lo aja nanti.”

Semenjak hari itu akhirnya Marlo sadar, perasaan khawatir dirinya terhadap Nathan berbeda, ia menyadari bahwa dirinya tidak, pernah se perhatian ini dengan teman sebayanya yang lain.

Dan ia harusnya juga paham kalau teman temannya tidak pernah menggenggam tangannya, atau menghampiri rumahnya di jam sebelas malam hanya untuk memberikan makanan untuknya.

Pada akhirnya keduanya paham, rasa ini berbeda dan perasaan salah ini membutakan mereka, keduanya mencoba acuh dengan kata benar maupun salah.

Nathan dan Marlo hanya terus menciptakan berbagai momentum indah secara bersama sama, tanpa menghiraukan status, ataupun nama ikatan mereka saat ini.

Mereka bahkan kembali melakukan berbagai kegiatan bersama, Nathan dan Marlo sedang menggemari otomotif.

Entah sejak kapan kedua pemuda itu ikut turun dalam dunia balap tak resmi yang menggunakan jalanan umum dan uang taruhan sebagai hadiah.

“Tan, turun lo malem ini?”

Nathan dan Marlo sedang berjalan bersama menuju parkiran sekolah. “gua pengen turun tapi motor gua ada yang gak bener” ujar Nathan

“Kalau lo sendiri gimana?” Nathan menatap orang di sebelahnya “enggak turun gua” balas Marlo “lah kenapa lo?” jelas Nathan cukup terkejut akan hal ini.

“Gapapa gua gak pengen aja,” Nathan mengangguk mengerti dengan perkataan Marlo “ehh lo kenapa gak pake motor gua aja Tan”

“Maksud lo gimana?”

“Lo turun pake motor gua aja, baru kelar servis kemarin” ujar Marlo “serius gapapa?” Marlo mengangguk “gapapa elah”

“Boleh juga ide lo, kalau gitu see you nanti malem”

See you Nathan”

Waktu yang di tunggu-tunggu akhirnya tiba, tepat pukul sepuluh malam Marvel sampai di arena.

Tempat ini terlihat begitu ramai orang berlalu lalang.

“Yow! Mar” Gabriel, nama pemuda yang menyapa dirinya “yow! Gabs, lo liat Nathan gak?” tanya Marlo “Nathan?” Marlo mengangguk “gua liat tadi dia sama Jordan di sana” ujar Gabriel sembari menunjuk satu titik di depan sana

“Oke deh makasih Gab, gua mau samperin Nathan dulu” setelah pamit dengan Gabriel,

Marlo berjalan mendekati Genta, dari jarak yang tidak terlalu jauh Marlo sudah bisa melihat tatapan tajam dan rahang yang mengeras, menandakan bahwa Nathan malam ini tidak sedang bermain-main

Langkah kaki nya semakin berani untuk menghampiri titik dimana Nathan berdiri.

“Nathan” pemuda itu menoleh kearah nya “Marlo, gua tungguin dari tadi juga lo” wajah Nathan tampak tidak se keruh beberapa waktu lalu “maaf tadi gua harus urus sesuatu dulu” Nathan menepuk pundaknya “santai Mar” ujar pemuda itu.

“Lo udah mau main ya?” Nathan mengangguk “bentar lagi kayanya” ucap Nathan “ya udah nih, motor gua ada di deket arena” Marlo menyerahkan kunci motornya kepada Nathan.

Hal itu membuat pengendali kendaraan roda dua itu sudah berbeda.

“Oli nya baru gua ganti, jadi pasti enak pas di tarik” Marlo begitu yakin dengan apa yang ia ucapkan “lo pasti menang deh” Nathan tertawa “pastilah, kapan gua gak menang”

Obrolan mereka tidak bisa terlalu banyak karena panggilan suara yang menyuruh Nathan untuk segera masuk kedalam area balap.

“Nathan!” panggil Marlo

“Kenapa?” Marlo berlari menghampiri Nathan, tiba-tiba saja pemuda itu berani untuk memeluk Nathan “semangat, lo pasti menang” Nathan mengangguk dengan mantap “pasti Mar, seperti biasa kan?” sekarang gantian Marlo yang mengangguk

Pelukan mereka terlepas, “tumben lo meluk gua” celetuk Nathan, Marlo hanya bisa mengangkat kedua bahunya keatas “gak tau, gua pengen aja” Nathan terkekeh, kemudian jari-jari pemuda itu mengusak surai ikal milik Marlo.

“Gua tanding ya”

Marlo mengangguk, membiarkan Nathan untuk turun malam ini.

“Malam Marlo Sagara,”


“Malam Nathan Nawaseno”

Wangi ruangan ini sudah menjadi teman hidup nya selama dua tahun kebelakang. Interior ruangan ini juga tidak berubah sedari awal dirinya memasuki ruangan ini.

Bunyi derap kaki tidak mengusik dirinya, Marlo masih memiliki keberanian untuk menelisik ruangan ini lebih dalam.

Marlo bergerak menghampiri satu benda panjang yang ditaruh tepat di tengah ruangan.

Netra Marlo sedari awal sudah fokus ke titik tersebut, telinganya seakan tuli dan menghiraukan suara mesin-mesin di sekitarnya.

Setelah beberapa waktu akhirnya Marlo bisa menghembuskan nafasnya kembali.

Tangannya mengudara, hingga akhirnya berlabuh di satu tangan lainnya.

Satu tangan yang kemarin menggenggam tangan putihnya, yang ibu jarinya dengan begitu lembut mengusap punggung tangan miliknya

Cup..

Bibirnya dengan lembut mengecup tangan kecoklatan yang ada dalam genggamannya.

“Maaf gua baru bisa dateng hari ini, sebulan ini gua sibuk sama kegiatan sekolah, tapi sekarang gua lega karena segala urusan sekolah udah berhasil gua selesai in”

“Bahkan tadi siang gua habis dateng ke acara graduation angkatan, kita akhirnya lulus juga, gua gak nyangka waktu berjalan secepat itu.” wajah Marlo tertunduk

“Rasanya baru kemarin gua di jemur sama lo di bawah tiang bendera, baru kemarin padahal kita kejar-kejaran sama Pak Teddy, rasanya kaya baru kemarin gua sama lo cabut sekolah dan milih buat nongkrong. Gua merasa baru memulai semua masa-masa Sma ini tau Tan”

Marlo tersenyum “ternyata udah dua tahun ya Tan..” genggaman tangan itu menguat “udah dua tahun masa sekolah gua tanpa adanya lo”

“Udah dua tahun lo tidur” Marlo akhirnya berani untuk menatap wajah Nathan, wajah yang selalu ada di dalam mimpinya, wajah yang akan membuat nya menangis setelah bangun dari mimpi indah itu.

Menangis karena ia rindu dengan bola mata Nathan yang menatap kearah nya atau senyuman tulus yang pemuda itu berikan untuknya,

Dua tahun berlalu tetapi semua masih teringat jelas di dalam benaknya.

Bagaimana malam itu merenggut kesadaran Nathan, malam itu berhasil menjadi mimpi buruk bagi Marlo.

Bahkan malam itu hampir saja mengambil jiwa Nathan darinya.

Motor yang ia yakinkan akan membawa kemenangan untuk Nathan ternyata hanya membawa Marlo menuju neraka dunia.

Motor hitam itu malah membawa Nathan menuju kecelakaan parah yang membuat pemuda itu tidur selama dua tahun lebih.

Marlo menghembuskan nafasnya, berusaha untuk mengontrol emosinya. Karena setiap mengingat malam itu Marlo akan selalu menangis.

Marlo sedih karna hampir kehilangan Nathan, Marlo pun marah karena nyawa Nathan hampir hilang karna dirinya.

Semua terlalu berantakan untuk Marlo.

“Nathan, lo gak bosen apa tidur mulu?” Marlo selalu berharap Nathan akan membalas ucapannya, “lo emang gak pengen main futsal sama gua?”

Selama dua tahun kebelakang ini Marlo selalu berharap, Marlo percaya Nathan akan bangun.

“gua yakin kaki lo sekarang masih jago buat cetak gol, yah walaupun masih jagoan gua” Marlo tertawa lirih, “gua yakin kalo lo denger ini bakalan kesel”

“Makanya bangun, kasih bukti ke gua kalau lo lebih jago dari gua”

“Tapi lo tau gak Tan, gua di nobatkan sebagai captain futsal terbaik tahun ini”

“Jangan salahin gua karena ambil posisi lo ya Tan, habisan lo tidur nya kelamaan, jadi gua sabet aja deh”

Suara tawa Marvel menyatu dengan bunyi mesin-mesin pendeteksi detak jantung.

Marlo masih setia menatap wajah Nathan, yang tidak sama sekali memiliki perubahan selain rambut yang memanjang, rambut ikal pemuda itu semakin memanjang.

Marlo tergerak untuk memainkan surai Nathan.

“Nathan,”

Marlo menghela nafas, tiba-tiba suara nya bergetar.

“Nathan, gua kangen” kedua bola mata itu berkaca-kaca “gua kangen banget sama lo Tan”

“Gua kangen dipeluk sama lo Tan, gua kangen ngobrol sama lo, gua kangen lo Nathan sampai rasanya gua mau mati”

“Mati karena rasa bersalah, sekaligus rindu tuh gak enak in banget Tan,” tutur Marlo

“Lo tau gak si Tan kalau aja gua gak denger detak jantung lo selama dua puluh empat jam awal, malam itu juga gua bakal langsung bunuh diri gua.

“Lo boleh bilang gua gila, gue tolol. Tapi nyatanya gua se gak bisa itu tanpa lo Tan”

“Gua ga bisa hidup tanpa lo Nathan,”

“Tapi gua seneng karna lo menjadi orang baik, lo masih berdetak sampai hari ini.” Marlo menyentuh dada Genta yang di hiasi beberapa alat medis

“Ini semua bukti kalau Nathan kuat, dan jantung ini adalah alasan gua bertahan sampai hari ini walaupun lo tau Tan gimana frustasi nya satu tahun pertama gua tanpa lo. Dan gimana gua yang mau bangkit untuk hidup kembali karna denger kabar kesehatan lo yang membaik”

“Makasih ya Nathan, makasih udah pernah hadir di hidup gua,”

“Terimakasih sudah mau menjadi sahabat, pengisi hati dan rumah” air mata yang Marlo tahan selama beberapa bulan terakhir ini akhirnya mengalir keluar,

Maafkan Marlo yang sudah tidak bisa menahan nya lebih lama.

“Maaf ya Nathan, lagi-lagi baju lo basah karena air mata gua” Marlo buru-buru mengusap buliran air mata yang membasahi pipinya.

“Kalau di pikir-pikir kamu hebat banget Tan, orang-orang bilang hidup kamu gak akan bertahan lebih dari satu bulan, bahkan dokter cuma ngasih tau aku kalau kamu bertahan cuma bisa tiga bulan, tapi aku gak percaya. Karna aku tau Nathan tuh kuat, aku bangga sama kamu yang mau bertahan sampai sejauh ini Tan”

“Aku tau dua tahun kebelakang ini juga sulit banget buat kamu, aku tau Tan gimana kerasnya kamu berusaha saat ini. Kerasnya kamu berjuang buat tetap bernafas, demi aku.”

“Maaf ya Tan, maaf aku dulu egois karna gak mau kamu pergi, aku jahat ya Tan karna gak mau ngelepas tangan kamu selama dua tahun ini?”

Tangis Marlo kembali terdengar lebih kencang daripada sebelum nya.

“Tapi Tan aku sekarang sadar, aku gak bisa terus maksa kamu tinggal. Aku gak bisa terus maksa kamu untuk berjuang padahal kamu mungkin udah gak kuat”

“Aku emang gak bisa tanpa kamu Tan, tapi aku bisa belajar.

Belajar untuk ikhlas”

“Satu tahun kebelakang ini ternyata aku bukan cuma belajar untuk bangkit tapi aku juga belajar untuk mengikhlaskan kamu, Nathan.”

“Sekarang aku udah siap Tan” mulut Marlo mulai bergetar “kamu bebas Tan..”

“Nathan boleh pergi, aku bolehin sayang. Aku ikhlas”

Tubuh Nathan bergetar, Marlo melihat bagaimana Nathan mengambil nafas dengan susah payah.

Marlo mengusap lembut tangan Nathan, “pelan-pelan Nathan. Jangan lari, jalan pelan-pelan aja.” Air mata terus mengaliri pipi Marlo

Tit.. Tit.. Tit..

Layar monitor di sebelah Nathan berubah menjadi lurus, tidak ada lagi gelombang yang menjadi tanda bahwa Nathan masih berada bersama nya,

Bahkan Marlo sudah tidak merasakan adanya detak jantung Nathan di dada pemuda itu.

Tangisan Marlo pecah, Nathan sudah sering seperti ini tetapi untuk kali ini Marlo membiarkan Nathan pergi,

Marlo tidak lagi berteriak memanggil dokter maupun perawat rumah sakit, untuk kali ini Marlo hanya diam, sembari memperhatikan wajah tertidur milik Nathan.

Nathan nya sudah tertidur dengan lelap.

“Selamat tidur Nathan” bisik Marlo di samping telinga Nathan.

“You’re gonna live forever in me, Nathan Nawaseno”

Ia kecup kening Nathan untuk terakhir kalinya, dan untuk terakhir kalinya juga Marlo memberikan satu bucket bunga untuk Nathan.

Satu bucket bunga gardenia dengan kartu ucapan

‘Happy graduation, Nathan.’

Pantulan bola basket yang ia mainkan bergema ke seluruh sekolah, mungkin karna waktu pembelajaran sudah selesai dua jam lalu.

Tapi hal itu tidak membuat seorang River bergerak untuk kembali kerumahnya.

Pemuda itu memilih untuk bermain bola oranye entah dengan tujuan apa.

Mengabaikan baju dalamannya yang sudah basah kuyup oleh keringat dan rambut hitam nya yang berubah lepek.

Tapi sepertinya kegiatan River cukup menarik perhatian seseorang lainnya.

“Bisa main basket juga ternyata si River” Celetuk Satria, yang berdiri disebelah Julian.

“River?” Tanya Julian.

Satria mengangguk, “iya itu yang di lapangan si River kan” Ujuk Satria dengan dagu nya.

Julian mempertajam pandangannya kearah lapangan.

Dan ternyata benar di sana terdapat River yang sedang bermain basket sendirian.

‘Temenin’

Julian geleng-geleng kepala saat mendengar isi kepalanya yang tidak jelas itu.

Tanpa sadar langkah kaki Julian terhenti untuk memperhatikan permainan River.

“Widih jago juga dia three point nya” Ucap Satria kembali “gue jadi percaya dia kemarin ngalahin lo” Satria menatap Julian “masih jagoan gue” Sahut Julian.

“Lo tau kan track record gue gimana?” Satria mengangguk “kemarin gue lagi ga fokus aja” Tambah Julian sebelum Satria kembali menyela.

Disaat keduanya sedang memperhatikan River. Tiba-tiba saja manik mata mereka bertemu.

River menatap kearahnya.

Dan entah kenapa hal itu membuat Julian ingin pergi, cukup gengsi karna ketahuan memperhatikan River.

Namun belum sempat Julian dan Satria pergi sebuah suara berhasil menghentikan keduanya.

“Woy Ijul!” Seru River.

Julian menoleh ke arah lapangan.

River tampak berlari mengambil tas gendong nya dan kemudian menghampiri Julian.

Nafas pemuda itu bergemuruh.

“Akhirnya lo keluar juga Jul” Penuturan River membuat satu alis Julian terangkat “kenapa?” Tanya Julian.

“Nih baju olahraga lo” River mengeluarkan baju olahraga yang kemarin Julian pinjamkan kepadanya

Thanks Jul” River tersenyum.

Mata Julian berkedip beberapa kali, memproses segala hal saat ini.

River melirik pemuda di sebelah Julian, “Satria kan?” Tanya River.

Satria mengangguk, “thanks Sat udah minjem in baju olahraga buat gue”

Mulut Satria terbuka, pemuda itu melirik kearah Julian.

Satria mengambil baju olahraga dari tangan River.

“Santai Ver”

River mengangguk, “gue balik duluan ya” River menepuk pundak Julian.

“Hati-hati Ver” Tutur Satria.

Julian berbalik untuk melihat punggung River yang kian menjauh

“Jul”

Julian melirik Satria, Julian paham tatapan Satria.

Julian bergerak mengambil baju olahraga dari tangan Satria.

“Punya gue, punya lo besok gue balikin”

Belum sempat Satria menjawab, Julian sudah pamit lebih dahulu, meninggalkan Satria.


“River”

Seruan tersebut berhasil membuat River menoleh ke belakang.

Sosok Julian tampak mendekat kearah dirinya.

Nafas Julian terlihat tidak teratur, menandakan bahwa pemuda itu habis berlari entah darimana.

“Wey, kenapa lo?” Tanya River

“Lo— lo balik” Suara Julian putus-putus.

River memegang lengan Julian, “santai dulu Jul, nafas” Pandangan River tertuju pada Julian.

Setelah beberapa menit berlalu dan nafas Julian sudah kembali normal.

“Ri” Panggil Julian

“Motor lo masih di bengkel kan?”

River mengangguk, “lo balik sama siapa?” Tanya Julian kembali “sama si Jericho paling”

“Sama gue” Sahut Julian.

“Maksud gue kalau lo balik sama gue kita bisa sekalian ambil motor lo di bengkel.”

Ketua Osis dengan partner nya baru saja keluar dari ruangan wakasek sekolah.

Tidak terlihat raut kebahagiaan dari kedua pemuda itu, helaan nafas Satria lagi lagi adalah hal yang Julian dengar.

“Kenapa mereka bilang nya mendadak gitu dah Jul” Keluh Satria “wakasek juga baru di infokan sama kepsek kan?” Sahut Julian, “bukan salah Pak Leo sepenuhnya Sat” Tambah Julian.

“Iya sih cuma mepet banget anjir” Julian menepuk bahu temannya “bisa pasti, pulang sekolah kita rapat internal dulu, biar tau masukan satu sama lain” Satria mengangguk setuju.

Kedua pemuda itu melewati koridor sekolah yang tampak lengang, mungkin karna saat ini adalah jam pembelajaran.

“Lo kemarin kimia dapet berapa Jul?” Tanya Satria “seratus” Satria tampak melotot “anjing, soal nya susah mampus begitu lo dapet seratus?”

“Kalau lo paham dasarnya gampang Sat” Jawab Julian “jangankan paham dadar nya Jul, gue aja ga paham soal nya” Julian geleng-geleng kepala.

Keduanya tampak asik membahas beberapa topik random sampai sebuah suara yang datang dari arah berlawanan cukup menganggu fokus Julian.

“Ah monyet lah lo Jer, ini kalau bukan gara-gara lo lama kita gak bakal ketahuan Pak Rio”

“Iya-iya Per, kan gue udah minta maaf, gue juga ga tau kalau ada Pak Rio”

Suara keduanya cukup besar hingga bisa Julian dengar.

“Yaudah buru lah taro buku ini di perpus biar kita bisa ke Mang Irul” Tutur River, Jericho mengangguk “tapi untung nya Pak Rio gak tau kalau kita mau kabur” Tutur Jericho.

“Iya bener, kalau ketahuan udah di jemur kaya ikan teri kita sekarang” Keduanya tertawa bersama.

River dan Jericho berjalan semakin dekat kearah nya.

Membuat manik Julian hanya bisa tertuju oleh si pembuat pusat perhatian.

“Eh Per, hati-hati bego” Tutur Jericho saat melihat langkah River yang sedikit goyang “lo kalau ga kuat bagi ke gue aja Per” Tambah Jericho.

River menggeleng, “gak Jer gue kuat kok” Tolak River.

Jericho mendengus, “jangan batu deh, sini bagi ke gue” Jericho mengambil beberapa buku yang ada di tangan River.

Semua itu tidak luput dari pandangan Julian bahkan saat keduanya berjalan melewati Julian.

Julian merasa kedua pemuda itu seperti tidak mengetahui kehadiran nya.

Mereka berdua asik mengobrol mengenai topik yang tidak Julian ketahui.

“Mereka mau bolos lagi gak si itu Jul?” Pertanyaan Satria berhasil membuat Julian keluar dari pikiran nya “siapa?” Tanya Julian.

“Anak kelas lo, si River sama Jericho.”

Julian mengangkat kedua bahu nya, “mungkin”

Satria mengerutkan alis nya “tumben gak lo cegat” Celetuk Satria “gue punya hal yang lebih penting daripada ngurusin mereka” Sinis Julian.

“Gue duluan Sat” Pamit Julian

Yang saat ini merasa gerah, padahal cuaca siang hari ini cukup mendung.

Warna oranye yang menghiasi langit sore hari ini membuat Julian teringat tentang waktu yang akan semakin larut.

Maka ia sebagai pemimpin rapat hari ini memutuskan untuk menyudahi diskusi mereka.

“Kita akhiri rapat hari ini, Gue harap setiap divisi di sini paham apa aja tugas mereka di event kita kali ini”

“Buat notulen juga jangan lupa hasil rapat di kirim di grup besar biar semua bisa tau apa aja yang kita bahas hari ini” Pandangan nya bertemu dengan Mika, si sekertaris umum periode saat ini.

Semua mengangguk paham.

“Oke kalau gitu rapat hari ini gue akhiri” Lanjut Julian “makasih atas kehadiran nya”

Lingkaran besar itu seketika pecah, para anggota Osis mulai berhamburan keluar untuk pulang ke rumah masing-masing.

Mungkin saat ini hanya tersisa beberapa orang saja yang rata-rata adalah BPH Osis.

“Eh duluan ya gue ada jadwal les hari ini” Dania izin undur diri lebih dahulu “hati-hati Dan,” Ujar Julian.

Dania mengangguk “dadah semuanya!” Julian dan teman-temannya melambaikan tangan kearah Dania.

“Lo pulang bareng sama siapa Mik?” Suara Theo sedikit mengambil atensi Julian,

Mika melirik kearah nya, “Jul lo bawa motor kan?” Tepukan Haikal berhasil membuat tatapan keduanya terputus.

Julian mengangguk “bareng kalau gitu lah” Tutur Haikal

“Mau bareng sama gue gak Mik?” Tanya Theo kembali, Mika mengangguk “boleh deh kebetulan gue lagi hemat ongkos” Sahut Mika.

“Eh kunci ruangan biar gue yang pegang aja, lo duluan sana” Celetuk Satria.

“Ya udah ayok Mik balik” Ajak Theo, Mika mengangguk “duluan ya semuanya” Ucap Mika.

“Duluan ges” Sambung Theo.

“Hati-hati lo The, di anterin sampe rumah si Mika jangan lo bawa mampir kemana-mana” Gurau Haikal.

“Iya elah, santai aja gue kan masih takut sama Julian” Theo memberikan lirikan menggoda kearahnya, Julian geleng-geleng kepala.

“Duluan Jul”

Julian mengangguk, “hati-hati The”

Setelah kepergian Theo dan Mika, Haikal mengajak Julian untuk turun ke parkiran di susul juga oleh Satria yang berjalan di belakang mereka.

“Anjir sekolah udah sepi banget kalau sore begini” Celetuk Haikal saat melihat kondisi sekolah yang biasanya ramai menjadi kosong “kalau malem serem banget kali ya” Lanjut pemuda itu, Julian terkekeh “kenapa? Lo takut?”

“Takut mah enggak cuma ogah aja kesini malem-malem”

“Ya ngapain juga lo kesini malem-malem tolol” Sahut Satria dari belakang.

Percakapan tidak berfaedah itu terus berlanjut hingga mereka sampai di parkiran sekolah.

Ketiga pemuda itu langsung menaiki motor masing-masing dan bersiap untuk pergi.

Julian yang pertama kali keluar dari sekolah di susul oleh dua orang lainnya.

Tapi baru beberapa meter keluar dari sekolah pandangan Julian berhasil di curi oleh seseorang di pinggir jalan, yang terlihat sedang sibuk dengan sebuah motor Ninja berwarna merah.

Laju Julian melambat, membuat kedua orang lainnya melakukan hal yang sama.

“Kenapa Jul?” Tanya Satria sembari membuka visor helm nya “kalian duluan aja” Suruh Julian.

Haikal mengerutkan dahinya, “gue ada urusan sama temen” Setelah mendengar penjelasan tersebut keduanya tampak paham dan pergi meninggalkan Julian.

Julian kemudian memberhentikan motornya di depan orang yang berseragam sama dengannya.

Orang tersebut tampak penasaran saat melihat kehadiran Julian,

Sampai akhirnya Julian membuka penutup kepalanya dan terlihat wajah nya.

Pandangan keduanya bertemu, Julian bisa melihat River tampak tidak suka dengan kehadiran nya.

“Motor lo kenapa?” Julian membuka suara lebih dahulu “ngapain lo disini?” River malah balik bertanya

“Kalau orang nanya tuh di jawab,” Julian turun dari motornya dan berdiri di sebelah River.

“Ban gue bocor”

Julian mengernyit, “kok bisa?” River mengangkat kedua bahu nya “ga tau, ada yang iseng kali” Jawaban River membuat Julian bingung.

“Siapa yang iseng in lo?”

Lagi-lagi River mengangkat bahu nya “kenapa juga lo kepikiran ada yang nge iseng in lo? Siapa tau aja kena paku di jalan” River terkekeh mendengar penuturan Julian.

River memilih bangkit berdiri, membuat tinggi mereka sejajar.

“Lo gak tau apa-apa Jul, mending lo diem”

Perkataan River cukup membuat Julian kesal.

“Gue ketua Osis, gue tau semuanya”

Pandangan keduanya bertemu, River mendengus “yakin? Emang lo tau sama anak anak yang sering isengin gue sama temen-temen gue?”

Julian diam, membisu.

‘Tidak’

Julian tidak mengetahui nya.

“Ada yang gak suka sama lo Ri?” Pertanyaan itu spontan keluar dari mulut Julian “siapa?”

“Semua orang gak suka sama gue Jul, lo bego atau gimana dah?”

River terkekeh.

Julian mengedipkan matanya beberapa kali, memproses semua informasi yang baru saja ia dapatkan.

“Dari kapan? Kenapa lo gak lapor ke Bk atau kasih tau gue? Kenapa lo diam aja?”

“Emang gue bisa apa bangsat?!” River mendorong bahu Julian “emang kalau gue ngadu ke Bk dia bakal percaya sama gue? Kaga tolol!”

“Jadi mending lo diem”

Julian kembali mematung.

Kemudian Julian mengacak-acak rambutnya sendiri, River mengerutkan dahi nya.

“Lo udah panggil montir?” Tanya Julian, River mengangguk “udah cuma gue tunggu dari lima belas menit lalu gada yang dateng”

“Coba gue telepon montir langganan gue” Timpal Julian.

Belum sempat River menolak panggilan Julian sudah terhubung dengan seorang montir.

Setelah telepon itu selesai Julian menatap River kembali, “sepuluh menit lagi montir nya dateng” Tutur Julian.

River hanya diam, tidak berniat untuk menjawab.

Julian kemudian melihat langit yang mulai menggelap dan tiba-tiba saja ada gemuruh di langit.

River pun jadi melihat ke arah langit.

“Mending kita cabut sebelum kehujanan” Saran Julian “motor lo tinggal aja orang bengkel nya udah mau nyampe kok”

Julian bergerak menaiki motornya kembali.

“Ayok” Ajak Julian.

River mengernyit, “siapa yang bilang gue mau bareng sama lo?” Julian mengerling “lo mau kehujanan sendiri kaya orang tolol?” Tanya Julian.

“Ya gak mau”

“Ya udah naik” Sahut Julian, “gue bisa pulang naik gocar.” River mengeluarkan ponsel nya.

“Ah bangsat segala habis baterai lagi”

Sudut bibir Julian tertarik, “jadi gimana? Masih kekeh mau pulang sendiri?” Tanya Julian “gue kasih tau aja jalanan macet kalau lagi hujan”

River diam sejenak, pemuda itu sedang menimang nimang akan memilih keputusan apa.

Julian geleng-geleng kepala “ayok River, keburu hujan”

River mendengus kemudian mengambil helm milik nya dan berjalan menaiki jok penumpang motor Julian

Senyuman kemenangan terpantri di wajah Julian.

“Pegangan gue mau ngebut” Ujar Julian.

“Mauan” Sinis River “gue gak tanggung jawab kalau lo jatoh ya”

River mendengus kemudian tangannya di taruh di kedua bahu Julian.

“Cepetan Jalan”

Julian melirik sekilas River dari kaca spion nya.

Kemudian Julian membawa Ninja hitam nya melaju dengan cepat.

Pengambilan nilai olahraga untuk materi bola besar sudah selesai, para manusia sebelas Ipa dua berpencar, sibuk dengan urusan masing-masing.

Para perempuan memilih untuk melipir di pinggir lapangan sembari melihat bagaimana para anak lelaki yang sedang bertanding bola basket.

Yang di dalam nya terdapat Julian dan River.

Keduanya berada di kubu yang berbeda seakan mempresentasikan permusuhan mereka bahkan dalam hal pertandingan olahraga.

“Oper sini Per!” Seru Jericho saat melihat River membawa bola oranye tersebut.

River yang mendengar hal itu pun berniat untuk mengoper bola kepada Jericho namun sayang ada Haikal yang berhasil merebut bola sebelum sampai ke tangan Jericho.

“Ah bangsat!” Dumel River tanpa sadar “gapapa Per” Dari belakang Jericho menepuk pundak nya.

Namun manik River melihat Haikal berhasil memasukkan bola ke dalam ring milik tim nya.

Membuat poin tim Julian lebih unggul daripada miliknya.

Permainan kemudian berlanjut, mengacuhkan matahari yang semakin naik keatas dan keringat mereka yang terus bercucuran.

“Kasih Julian, Kal” Jordan berseru kepada Haikal saat melihat Kenzo yang sudah bersiap menghalangi Haikal.

Haikal ternyata cukup gesit karna bola bisa berpindah hanya dalam hitungan detik ke tangan Julian.

Semua orang saat ini mengejar langkah besar Julian termasuk dengan River.

Dia maju untuk menghalangi pemuda itu,

“Jul gue Jul” Suara Araya masuk ke pendengaran nya.

Julian menoleh ke samping, bersiap memberi bola kepada Araya melalui overhead pass.

Namun River berhasil mendorong bola itu keluar dari genggaman Julian, River tersenyum kemenangan.

Melirik sekilas kearah Julian yang ternyata juga sedang menatap dirinya.

River memberikan senyuman remeh kepada Julian

Kemudian berlari kembali mengejar bola yang saat ini ada di tangan Galih.

“Wuuu!!” Seru Hendrick saat Galih berhasil memasukkan bola ke dalam ring “keren lo Lih” Tambah Kenzo.

Selebrasi itu hanya bertahan sesaat karena permainan terus berlanjut.

Poin kedua tim saat ini adalah setara.

Bola berada di tangan Jordan kemudian di lempar kepada David dan berakhir di tangan Julian.

Bola terus berada di kuasa Julian, pemuda itu mengontrol bola dengan handal, melewati Galih dan Hendrick dengan mudah nya.

Julian terus maju mendekati ring lawan.

Kecohan sedikit ia berikan saat melihat kehadiran Kenzo di hadapannya.

Sudut bibir Julian terangkat,

Julian semakin dekat dengan ring

Namun langkah besarnya memelan saat melihat River di depannya, pemuda itu bersiap untuk mengambil bola dari tangannya.

Julian berusaha mencari cela,

Suara teman-teman se tim nya sudah mulai bersahutan, meminta Julian memberikan bola kepada mereka.

Namun manik tajam Julian di kunci oleh si mata kucing di hadapannya.

Tangan Julian masih setia mendribble bola besar tersebut.

Suasana di tengah lapangan itu menjadi tegang.

Sampai tiba-tiba saja di tengah-tengah ketegangan itu River memberikan kedipan menggoda kepadanya.

Julian membeku di tempat,

Dan situasi itu di manfaatkan River untuk mengambil bola dari tangan Julian, dan membawa bola menuju ring milik Julian.

Semua berjalan terlalu cepat bagi Julian.

Hingga tiba-tiba saja River berhasil memasukkan bola ke dalam ring tim nya.

Dan menjadi pemenang dalam pertandingan kali ini.

River mendengus setelah melihat pesan terakhir yang dikirim oleh Julian, Ketua Osis paling menyebalkan pada abad ini.

River bangkit dari duduknya dengan sedikit terburu-buru.

“Lo mau kemana Per?” Jericho yang pertama kali angkat suara “lah lo mau balik?” Sahut Kenzo.

River mengangguk, “gue ada urusan, lo pada lanjut aja”

River berlalu pergi tanpa mau mendengarkan ucapan kawan kawannya lebih jauh.

Manik gelap nya sedikit melirik kearah arloji digital yang ia kenakan.

‘Sial’

Kaki River bergerak lebih cepat, bahkan River mau mengeluarkan tenaga lebih untuk berlari menuju ruang Osis.

“Lewat satu menit, tiga puluh lima detik” Ucap Julian sembari memandang arloji hitam ditangannya “apa apan gila? Orang lo bilang sepuluh menit ya” Protes River.

“Lo lupa gue udah kurangin jadi lima menit?” Kali ini pandangan Julian dan River bertemu, “eh asal lo tau ya dari gerbang ke sini tuh setidaknya butuh tiga menit ya anjir”

“Siapa suruh lari dari warung sebelah sekolah” Sahut Julian, River melotot “kata siapa gue dari Warung Mang Irul, fitnah lo” Bantah River “dari jam terakhir lo ga ada di kelas, emang lo kira gue gak tau lo bolos ke warung” Julian melipat kedua tangannya di dada.

“Ah bacot lah loh”

Sudut bibir Julian terangkat, merasa menang karna River tidak bisa membantah ucapannya.

River merasa risih saat Julian menatap kearahnya tanpa kedip.

River berdehem, “apa hukumannya?” Celetuk River “buruan kasih tau gue sibuk nih” Lanjut River.

Julian mendengus kecil mendengar hal itu.

“Lo liat ke lapangan” Perintah Julian, membuat River pun ikut menatap kearah lapangan di bawah sana “lo liat kan ada beberapa orang yang lagi bikin taman sekolah” Julian melirik River.

“Hukuman lo cuma perlu gantiin tugas mereka hari ini, sampe selesai”

“Hah?! Gila lo?”

Masalah nya dibawah sana ada beberapa tukang kebun yang sedang sibuk menanam tanaman dan juga ada yang sibuk mencangkul.

“Kenapa lo keberatan?” Tanya Julian “kalau lo nolak berarti gue anggap omongan orang soal lo yang ‘anak mami' itu bener”

Ucapan Julian yang terakhir cukup membuat River kepanasan.

River paling tidak suka di cap sebagai anak mami, oleh siapapun.

“Enak aja, gue bukan anak mami ya bangsat” Sambung River dengan nada sinis “buktiin kalau gitu”

River memberi tatapan tajam kepada Julian, berusaha mengintimidasi pemuda itu.

Namun hampir lima detik berlalu, Julian tidak gentar, pemuda tinggi itu masih diam dengan tatapan yang jatuh kepada manik River.

Julian tersenyum kecil, kemudian berbalik.

“Ayok kebawah”


“Dek Julian” Sapa tukang kebun sekolah dengan ramah “sore Pak Anwar,” Jawab Julian dengan ramah “ada apa dek?” Tanya Pak Anwar “ini pak temen saya River, dia katanya mau bantuin bapak buat bikin taman sekolah”

Sekilas pandangan keduanya bertemu,

“Loh beneran Dek River mau bantuin saya?” River mengangguk kecil “gak sih pak sebenarnya gue disuruh dia aja”

“Aduh!”

River menjerit saat kakinya di injak oleh Julian.

“Gak pak dia emang suka bercanda, bapak sekarang boleh balik biar River yang gantiin” Ucap Julian kembali.

Pak Anwar kemudian mengangguk paham “yasudah bapak pulang dulu ya, Dek River terimakasih sudah mau bantu bapak” Pak Anwar menepuk baju River sebelum benar-benar pergi meninggalkan mereka berdua.

“Lo ya! Gada sopan sopan nya sama yang lebih tua” River mendengus “lah kan emang bener gue dipaksa lo, lo tuh masih kecil udah bohong ke orang tua”

Julian kesal sendiri dengan tingkah River yang selalu menyahuti ucapannya.

“Udah cepetan kerjain tuh hukuman lo, gue pengen balik” Perintah Julian.

“Dih tai, gue juga kali pengen balik. Ogah gue deket-deket sama orang ngeselin kaya lo” Rentetan dumelan River tidak Julian tanggapi lebih jauh.

Julian mundur kebelakang, membiarkan River bekerja dan ia memantau pemuda itu.

Dari tempat nya berdiri saat ini Julian bisa melihat River yang kebingungan dengan penataan tanaman.

“Di cangkul dulu tanahnya baru taro tanaman nya!”

“Gue tau kali!”

Julian geleng-geleng kepala, River dengan gengsi tinggi nya itu tampak lucu di benak Julian.

Tiba-tiba saja Julian merasa sedikit khawatir saat melihat River yang kesusahan dengan cangkul, pemuda itu sepertinya tampak benar-benar buta dengan alat tersebut.

“Hati-hati kena kaki lo, bawahnya tajem itu”

“Iya bawel banget sih lo kira gue bayi apa?!” River memberi tatapan sinis ke Julian.

‘Iya’

“Bayi gada yang tingkah nya se ngeselin lo” Ledek Julian “dih jelas-jelas disini yang ngeselin lo ya”

River sudah selesai mencangkul tanah merah di taman tersebut, sekarang tubuhnya benar-benar berkeringat bahkan seragam nya sudah kotor karna tanah merah yang menempel di celana dan baju.

‘Anjir lah gue cape banget gila’

River rasanya ingin berteriak, karna sungguh ini semua adalah hal baru untuk nya.

‘Apa gue kabur aja ya?’

Ide itu muncul di benak River, manik gelap nya tiba-tiba saja mengitari sekitar, berusaha mencari sosok Julian. Namun nihil

Sudut bibir River terangkat.

Ia menaruh cangkul nya begitu saja,

River bersiap untuk lari.

Tapi baru saja ingin berlari tiba-tiba belakang seragam River di tahan.

“Mau kemana lo?” Suara Julian tepat berada dibelakang nya, “ah tai Jul lepasin gue!” River memberontak tapi Julian masih saja memegang kerah seragam River.

Membawa River kembali ke taman layaknya anak kucing.

“Gue mau balik ah, gue cape!” Keluh River, ia sedikit tidak peduli dengan harga dirinya. Ia benar-benar lelah saat ini.

“Lepasin gue woy, lo pikir gue kucing apa di tarik begini!”

“Iya lo kucing, kucing garong” Ledek Julian “sialan lo” River berbalik menatap Julian dengan pandangan sinis.

“Kerja lagi, hukuman lo belum kelar”

River mendengus, “dasar ketos ngeselin orang gue cape juga anjing”

“Katanya bukan anak mami, gitu aja udah cape”

“Bacot kalau gak bantuin apa-apa mending lo diem!” River memberi jari tengah kepada Julian.

Waktu terus berjalan, matahari terus bergerak turun, dan bulan siap naik ke atas permukaan.

Sudah hampir satu jam lebih River melakukan pekerjaan ini. Baju seragam nya bahkan sudah ia buka, menyisakan kaos hitam dan celana bahan.

“River!” Seru Julian dari pinggir taman.

“Apalagi jing?” Walaupun kesal River tetap menghampiri Julian.

“Hukuman lo udah selesai” Penuturan Julian berhasil membawa kembali wajah cerah River.

“Segini doang? Sampe malem juga gue jabanin, hukuman lo kurang berat Jul”

Julian mendengus, River kembali dengan sifat sombongnya.

“Ya kapan-kapan gue kasih lo hukuman yang lebih berat” Ujar Julian.

“Tai lah lo stop ngeselin bisa?” Tanya River.

Julian mengangkat kedua bahunya.

“Najis sariawan kali, irit banget ngomong nya” Sindir River “udahlah gue mau balik, gue sesek satu udara sama orang ngeselin kaya lo”

River berniat untuk pulang, setelah mengambil baju dan tas nya yang di taruh di sebelah Julian.

Julian masih diam bahkan saat River siap untuk melalui dirinya.

Tangan nya dengan kurang aja menahan lengan River.

Pemuda itu terkejut, satu alis River terangkat.

“Apan lagi?” River menjawab dengan nada jengkel.

Tangan Julian yang lain terangkat, River bisa melihat se botol air putih dingin yang berada di tangan pemuda itu.

“Buat lo”

River tetap tak bergeming, menurut nya semua ini terlalu aneh tapi Julian tiba-tiba saja mengangkat tangannya dan membuka telapak tangannya.

Kemudian menaruh air mineral itu di sana.

River masih diam, memandangi punggung Julian yang menjauh.

Sosok Julian tidak henti mengejar dirinya bahkan setelah mereka berdua berlari mengelilingi sekolah selama hampir lima menit.

Rentetan kejadian ini di mulai dari saat River dan teman-temannya yang ingin masuk ke sekolah melalui gerbang belakang.

“Lo yakin Ken aman?” Hendrick, temannya yang paling pintar di kelompok mereka angkat suara “bener Hen, Osis cuma jaga gerbang depan aja kok” Kenzo berusaha meyakinkan Hendrick.

“Udah naik Hen, lo mau ikut ulangan Bu Sisil gak?” Timpal Jericho yang berdiri di sebelah nya “ya udah deh”

Hendrick pun akhirnya memberanikan diri untuk memanjat pagar tinggi itu.

“Aman Hen?” Seru Galih dari bawah, Hendrick melihat keadaan sekitar sekolah “aman! Buruan lo pada naik” Sahut Hendrick dari atas.

Setelah mendengar perkataan Hendrick, satu persatu teman River mulai memanjat pagar sekolah.

Hingga tersisa Jericho dan River, “lo duluan Jer” Tutur River “oke, tunggu ya” River mengangguk kemudian membiarkan Jericho untuk memanjat lebih dahulu.

“Woy buruan! Gue liat anak Osis di depan kelas sepuluh” Seruan Kenzo terdengar ditelinga River.

Hal itu membuat dirinya bergerak lebih cepat, dengan tubuh ringannya River memanjat pagar tinggi itu dalam waktu sepersekian detik.

“Per gece, Per!” Galih sudah tidak sabaran.

River berhasil naik, sekarang dia hanya perlu turun ke tanah.

“Hey kalian!”

Seruan asing itu membuat River dan teman-temannya menoleh.

“Anjing cabut ada Osis!” Ujar Kenzo sembari berlari meninggalkan tempat perkara.

“Per gece, ada Osis” Jericho masih menunggu River “lo duluan sana bego” River bisa melihat beberapa anak Osis sudah mengejar Galih, Kenzo dan Hendrick.

“Kaga, gue tungguin lo” Kekeh Jericho “itu ada Osis bego, mencar” Seru River.

Jericho pun mendengus kemudian berlalu meninggalkan River

“Anjing lah segala nyangkut” Dumel River saat seragam nya menyangkut di salah satu bagian pagar.

Dengan sedikit tenaga akhirnya seragam River bisa lepas dari pagar,

“Woy!”

River menoleh, dia bisa melihat sosok Julian Argantata yang sedang menunjuk dirinya.

Karena panik River langsung meloncat ke tanah walaupun jarak pagar dan tanah lumayan tinggi.

River langsung berlari tanpa mempedulikan ucapan Julian.

“River gue bilang berhenti!”

“Gak mau!”

Itu adalah awal dari acara kejar-kejaran antara River dan Julian.

River menoleh ke belakang, dahi nya berkerut saat tidak melihat sosok Julian yang beberapa waktu lalu mengejarnya.

Langkah kaki nya memelan.

Mata nya mengitari sekitar, berusaha mencari si musuh bebuyutan.

“Lo nyari gue?”

Suara itu,

Suara itu tepat berada di belakang River, dan tiba-tiba saja River merasa tangannya sudah tidak bisa di gerakan.

“Woy apa-apan nih, lepasin tangan gue!” River berusaha memberontak “diem,” Sahut Julian “lo mau bawa gue kemana anjing” Tanya River “ruangan favorit lo” Sindir Julian

“Bangsat lo Julian!”

Sesampainya diruang konseling sekolah River tidak melihat teman-teman nya.

Dahi River berkerut.

“River, silahkan duduk” Sosok guru Bk berhasil mengambil perhatian nya.

Julian melepaskan tangannya dan membiarkan River duduk.

“Mana teman-teman kamu yang lainnya?” Bu Gina menatap River dengan tajam “gak tau bu” Jawab River.

“Gimana bisa kamu gak tau, kan kalian bolos upacara nya bareng”

“Saya sendiri bu dari awal” Jawab River.

Setelah nya River harus menebalkan kedua telinganya karna pidato panjang yang Bu Gina ucapkan.

‘Sat gue pengen tidur.'

“Lo ngapain Marv?”

Pertanyaan Genta tidak Marvel tanggapi, dirinya sibuk mempersiapkan beberapa peralatan.

“Oh lo mau ngelukis ya?” Marvel mengangguk “buat project senin budaya lo?” lagi-lagi ia mengangguki pertanyaan Genta

“Gue boleh ikutan gak?” Marvel menatap Genta dengan bingung “ikutan gimana?” Genta duduk di kursi depannya “ikutan ngelukis lah”

“Emang lo bisa?” Marvel tampak tidak percaya dengan kemampuan Genta “dih jangan salah gue jago masalah ngelukis mah” jawab Genta “oh gue kira lo jagonya cuma ribut” sindir nya, Genta terkekeh “di sindir terus kayanya gue” sahut Genta.

“Ini canvas nya gue pake ya?” setelah mendapat kan anggukan dari nya, tangan Genta mulai mempersiapkan segalanya.

“Emang project lo disuruh bikin apa si?” tanya Genta “ekspresi diri” jawabnya “maksudnya gimana tuh?” Genta tampak tidak paham “kita di suruh mengekspresikan keadaan emosional kita saat ini ke canvas” jelas Marvel.

“Oalah, berarti they will have deep meaning dong” Marvel mengangguk setuju “kayanya si.”

“Lo sendiri emang mau bikin apa?” Marvel beberapa kali melihat goresan kuas di canvas Genta “gak tau si belum kepikiran” jawab Genta “ikutin kata hati aja gue mah”

“Udah kaya pelukis handal aja lo Gen”

Genta terkekeh kemudian keduanya mulai sibuk dengan canvas masing-masing, mereka berdua memilih diam untuk bisa fokus kepada lukisan mereka sendiri.

“Marvel”

Ia menoleh kearah Genta “muter musik boleh?” Marvel mengangguk “puter aja elah, lo ngantuk ya?” tebak nya “iyaa hahaha.”

Tidak lama dari itu suara alunan musik bergema di udara, lagu kesukaan mereka satu-persatu mulai diputar dan jujur itu membuat keduanya menjadi lebih nyaman dan enjoy untuk melukis.

Sampai tidak teras dua jam sudah mereka berkutik dengan cat air dan canvas putih tersebut.

“Finally!” seru Genta “selesai juga” ungkap pemuda itu sembari melakukan peregangan.

“Lo udah Gen?” Genta mengangguk “lukisan lo udah jadi Marv?” tanya Genta.

“Udah si tapi..” suaranya tidak sekencang tadi “tapi kenapa?” Genta tampak penasaran “kayanya gak bagus deh ini” ungkapnya.

Genta bangkit berdiri kemudian menghampiri nya, pemuda itu juga melihat hasil lukisan nya.

“Apansi Marv ini bagus kok!” Genta berusaha meyakinkan dirinya “enggak ah Gen, ini aneh gitu warnanya” bantah Marvel “warnanya bagus Marvel” Genta menarik satu kursi dibelakangnya.

“Coba jelasin ke gue apa aja makna dari semua elemen di lukisan lo” tatapan keduanya bertemu “dari sini deh” Genta menunjuk satu titik di bawah mata.

“Itu air mata tapi gue kasih warna hitam” jelas Marvel “kenapa hitam?” tanya Genta “karena air mata itu terlalu dalam dan alasan nya juga terlalu kuat menguasai pribadi kita”

Genta mengangguk paham “terus kalau ini?” tanya Genta “gue bikin dua warna yaitu kuning sama biru”

“Itu meng ibaratkan keadaan hati gue, kadang kalau lagi sama orang banyak gue bakal berwarna kuning tapi kalau sendiri gue bakal berubah abu-abu.”

“Dan phase abu-abu itu selalu berusaha gue tutupi”

Keheningan menyelimuti keduanya selama beberapa saat,

“Ini” Marvel menunjuk lukisannya “garis ini” tangannya mengikuti aliran garis,

“Mungkin beberapa orang mikir ini cuma garis coretan gak jelas tapi garis merah ini sebenarnya ada artinya sendiri”

“Lo liat garis ini gimana?” ia menatap ke arah Genta “ruwet” jawab pemuda itu “itu isi kepala gue saat ini.”

Jarum jam di sudut ruangan menjadi peneman sepi mereka berdua.

“Marvie”

“Genta pliss don’t ca—

“You can hug me if you want” pemuda itu memotong ucapannya, Marvel terdiam “give me hug Marvel.”

Genta merentangkan kedua tangannya dengan senyuman yang tidak luntur,

Secara perlahan Marvel bergerak mendekati pemuda itu dan pada akhirnya ia jatuh dalam pelukan Genta.

Untuk kedua kalinya.

Sometimes emang mulut gak bisa berjalan sesuai fungsinya tapi pelukan bisa Marv” punggungnya di belain secara perlahan “you shouldn't be tell bout your feeling atau semua yang ada di kepala lo, you just need hug and crying”

“But I don’t wanna cry”

“Why?” bisik pemuda itu di telinga nya “gue cape buat jadi lemah” balas Marvel

“My papa said: boy never crying in front of people, if he did. He looser”

Genta menggeleng “you don’t cry in front of people, disini cuma ada gue”

“I’m only person” tambahnya “lo bisa nangis di depan gue and only front of me

“Crying Marvie after that I promise you’ll be happy”

Entah sejak kapan air mata itu mulai keluar, perkataan Genta seperti perintah yang tidak bisa ia langgar.

Dan sekali lagi Marvel menangis di hadapan Genta, hanya di hadapan pemuda itu.

“I promise because I will give you that.”